Thursday, December 31, 2009

Wednesday, December 30, 2009

Yesterday is Gone

Crying over the past and its tragedies, is nothing but a form of insanity. It discourages spirit, fades out determination, and kills the future. Those who use brain, have put out and forgotten the occurrences of the past, they filed them away and will never see them again. The episodes of the past are finished; sadness can't retrieve them, sorrow can't bring them back, and tears can't wake them up. This is because the past is vanished.

Do not live the life in the nightmares of the former times or under the shadow of yesterdays. Run away from the shadow of the past, and save yourself from the ghostly shadow of the ancient times. Do you think that you can return the sun to its raising place? the baby to its mother's womb? the milk to the udder? or tears to the eye? Constantly dwelling on the past and its happenings, you place yourself in a very frightful tragic state of mind.

Reading too much about the past is a waste of time, it obscures the future, and demoralizes the enthusiasm. Yesterdays are gone and done, with its good and bad, and you benefit nothing by carrying out an autopsy over them. The person who tries to go back to the history is like someone who tries to saw the sawdust, and wake up the death. In fact, one of the biggest tragedy in life is ignoring the future for the sake of the past. It is like neglecting beautiful castles and wailing over the ruins. Indeed, it is impossible that even every man and every creature are to try jointly to bring back the past, they would most certainly fail for everything on earth marches forward - and so should you.

Tuesday, December 29, 2009

Sunday, December 27, 2009

Friend and Friendship

Play w/ snow

Have fun

Friends

After Dinner at Muigai's

Saturday, December 26, 2009

Friday, December 25, 2009

Be Gentle to the Earth

Beberapa riset yang dilakukan di US menunjukkan bahwa terdapat 500 juta sampai satu trilyun plastik yg dikonsumsi pertahun, dan ironisnya kurang dari 1% saja dari material berbahan plastik ini yang didaur ulang, perlu di ingat bahwa mendaur ulang material berbahan plastik lebih mahal ketimbang membuatnya.
Untuk mendaur ulang 1 ton kantongan plastik biayanya akan menelan sekitar $ 4,000 (Rp. 40.000.000 asumsi 10.000 perdolar), sedangkan hasil daur ulangnyakalau terjual hanya akan mencapai $ 32 (Rp. 320.000). Bayangkan kerugian dari sisi ekonominya. 


Kebanyakan materil plastik ini terbuang/terbawa ke laut yang mengakibatkan rusaknya habitat laut dan matinya beberapa spesies akibat terkontaminasi. Malapetaka dari sisi lingkungan. Nah apa yang bisa dilakukan? 
Salah satu cara yang paling sederhana adalah dengan mengganti kantong plastik belanjaan kita dengan tas yang terbuat dari kain (cloth bags) atau sejenisnya. Satu tas kain bisa-bisa menghemat 6 kantong plastik perminggu artinya 24 kantong plastik perbulan sama dengan 288 kantongan per tahun setara dengan 22.176 per rata2 umur manusia skrg. Nah kalau 1 sj dari 5 orang yang melakukan hal ini berarti kita bisa menghemat 1.330.560.000.000 kantong plastik sepanjang umur kita. Dibeberapa negara skrg seperti Bangladesh, China, Irlandia, Rwanda, dan Beberapa negara lainnya sudah melarang penggunaan kantong berbahan plastik ini. Kota San Fransisco, menjadi kota yang pertama di Amerika Serikat yang melarang penggunaan kantongan plastik, bahkan kedepan ada kebijakan yang memberlakukanpajak bagi siapa saja yang menggunakan kantongan plastik pada saat berbelanja. 
Mudah2an ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi pemimpin bangsa kedepan untuk sensitif terhadap isu-isu kecil (kelihatannya) tapi luar biasadampaknya bagi kelangsungan hidup mendatang. And please be gentle to Earth!! 



Jalan Damai Israel-Palestina

Konflik berkepanjangan Palestina dan Israel kembali memasuki babak baru. Laporan Richard Goldstone, perwakilan Hak asasi PBB, yang mengumpulkan laporan yang intinya membuka tabir kejahatan perang yang dilakukan oleh Isreal dan Hamas selama 3 minggu pada bulan Desember dan Januari lalu. Serangan ini berakhir dengan luka mendalam dipihak palestina, 1.419 dari total korban tersebut terdapat 1.167 "non combatants". Dipihak militer Israel mengeluarkan jumlah korban yang berbeda dengan 1.166 korban dan 60% dari mereka adalah pelaku teror. Sementara dipihak Israel hanya 11 korban.

Untuk memperkuat hasil laporan tersebut, 25 negara telah mengambil keputusan untuk mendukung sepenuhnya goldstone report ini, 6 negara lainnya menolak laporan tersebut, termasuk US, dan 11 abstain dan 5 lainnya menolak untuk mengambil keputusan. Apa yang istimewa dari laporan ini bagi saya adalah pengakuan dunia international terhadap kejahatan Israel, ini pertama kali dunia berkata 'tidak' terhadap segala tindak tanduk 'Israeli & Jews'. Namun tentu saja ini bukan pertanda damai sudah diambang pintu. Jalan masih sangat panjang bagi Palestina untuk menggapai keadilan. Sebagai masyarakat Indonesia, yang mayoritas muslim hendaknya pembelaan kita terhadap rakyat Palestina bukan karena sentimen agama melainkan pembelaan yang bersumber pada keadilan bukankah damai itu digapai kalau keadilan sudah ditegakkan. No Justice, No Peace! Dan perlu disadari Konflik ini bukanlah konflik agama.

Tentu saja laporan ini medapat perlawanan dari pihak Israel dengan mengklaim bahwa laporan ini berat sebelah, dan akan merusak proses damai dari konflik yang tak kunjung padam ini. Namun tentu kita harus bertanya proses damai yang Bangsa Israel maksudkan disini yang mana? Tidak ada proses damai karena memang Banga Israel yang bebal ini tidak ingin proses damai itu terjadi. Dan selama Bangsa Israel menduduki tanah Palestina maka damai itu tidak akan pernah ada, karena rakyat Palestina akan terus berjuang untuk menuntut keadilan.

Bagi mereka Israel ini adalah ‘Alien’ yang tidak memiliki hak hidup di tanah palestina. Lebih jauh Israel menuding PBB, bahwa lembaga ini telah mendukung teroris, dan bertindak nonkooperatif terhadap negara yang melindungi masyarakatnya dari serangan teroris.

Goldstone menjawab tudingan Israel ini dengan kepala dingin, dan meminta agar pihak Israel membaca laporannya secara seksama kemudian meminta mereka untuk melakukan eksaminasi terhadap laporan tersebut sebelum melontarkan tudingan yang nonsense. Laporan ini sama sekali tidak berpihak kepada siapa-siapa, laporan ini bersandar pada kenyataan lapangan dan dilakukan secara kredibel dan bertanggung jawab oleh mereka yang sama sekali tidak memiliki interest, melainkan keadilan sebagai tujuan akhir. Bukankah kedua pihak yang terlibat sama-sama mendapatkan porsi laporan masing-masing? Tudingan bahwa PBB bertindak nonkooperatif terhadap Israel tentu sangat picik dan bodoh karena PBB tidak pernah mengharamkan suatu negara untuk berjuang membela negaranya dari tindakan teroris, yang menjadi persoalan kalau negara yang bersangkutan mengatasnamakan “pembelaan” dengan melakukan kejahatan perang seperti pembantaian masyarakat ‘non combatant’. Dari 1.419 korban dipihak Palestina, pada bulan Desember dan Januari, hanya 252 dari mereka ‘combatant’ selainnya adalah masyarakat sipil. Ini saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa Israel memang melakukan tindakan kejahatan.

Tawaran solusi damai pun berdatangan, bagi sebagian orang solusi damainya adalah ‘one state solution’ artinya bangsa Israel yang didominasi oleh yahudi co-exist dengan warga palestina dan lainnya tetap pada pendirian ‘two-state solution’

Thursday, December 24, 2009

Let it snow

Renungan Ramadhan

Ada beraneka ragam pembahasan berkenaan dengan shiyam (puasa) pada bulan ramadhan yang tentunya sangat menarik untuk kita ambil hikmah di dalamnya. Salah satu diantaranya adalah yang terdapat pada penggalan surat Al-Baqarah (183): “….Kama kutiba ‘alal ladzina min qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas(umat-umat) yang sebelum kamu).
Menurut Ahli tafsir kondang Quraish Shihab, merujuk kepada redaksi ayat tersebut beliau berpendapat bahwa terdapat rahasia pemilihan redaksi kalimat pasif dalam menetapkan kewajiban berpuasa. Menurut beliau Kutiba ‘alaikumush shiyama (diwajibkan atas kamu berpuasa) tanpa menyebutkan siapa yang mewajibkannya. Bisa saja kita bersepakat bahwa pemilihan bentuk redaksi ini disebabkan karena yang mewajibkan sudah sedemikian jelas yaitu Allah SWT.
Tetapi pada saat yang bersamaan ini juga dapat mengisyaratkan bahwa seandainya bukan Allah yang mewajibkan puasa, maka manusia yang menyadari manfaat puasa, akan mewajibkan sendiri dirinya untuk berpuasa. Ini terbukti bila kita lihat dari motivasi berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang selama ini dilakukan manusia, bukan semata-mata atas dorongan ajaran agama misalnya demi kesehatan, atau kecantikan tubuh. Seorang ahli kesehatan Rusia yang bernama Dr. Yuri Nikolayev, menilai kemampuan untuk berpuasa yang mengakibatkan orang yang bersangkutan menjadi awet muda, sebagai suatu penemuan (ilmu) terbesar abad ini. Beliau mengatakan: “what do you think is the most important discovery in our time? The radioactive watches? Bombs? In my opinion the biggest discovery of our time is the ability to make oneself younger physically, mentally and spiritually through rational fasting”. Ini sejalan dengan pendapat Alvenia M. Fulton, Direktur Lembaga Makanan Sehat “Fultonia” di Amerika Serikat “fasting is the ladies best beautifier, it brings grace charm and poice, it normalizes female functions and reshapes the body contour.”
Saya jadi teringat tatkala Mahatma Gandhi yang mempraktekkan puasa untuk menghentikan tindakan kekerasan yang dilakukan pengikutnya, yang karena itu menjadikan dirinya icon perdamaian dunia yang diabadikan oleh sejarah dalam lembaran-lembaran kisah perjuangannya. Namun sebagai muslim salayaknya kita berbangga ‘dua kali’ karena puasa: Kali pertama kita harus bangga dalam syukur kita terhadap segala manfaat puasa yang beraneka ragamnya. Sebagaimana tersirat dalam sabda Nabi: “andaikata umatku tahu pasti tentang sesuatu yang tersembunyi dalam bulan ramadhan, pasti mereka megharap seluruh bulan dalam setahun menjadi bulan ramadhan” Kali kedua kita seharusnya berbangga karena kita mengharapkan pahala dan taqwa karenanya. Bukankah Allah mengistimewakan Puasa ini di dalam hadis qudsiNya, "Setiap amalan anak Adam itu untuk dirinya, kecuali puasa. Itu milik-Ku dan Aku yang membalasnya karena ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku." (HR Bukhari Muslim).
Didalam bukunya Madarij As Salikin, Ibn Qayyim menggambarkan puasa sebagai perjalanan menuju Allah. Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak iblis yang merayu, agar perjalanan tidak dilanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad tetap membaja, tidak surut hati oleh cabaran serta godaan sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, disana tampak tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah Swt.
Semoga puasa kali ini menumbuhkan benih2 kebajikan yang tertabur dilahan jiwa kita sehingga menjadi bekal meraih puncak taqwa sebagai kunci terbukanya pintu2 Ar Rayyan yang Allah khusus ciptakan bagi mereka yang menjalankan puasa di bulan yang suci ini.

Salam
Shenandoah Valley

Wednesday, June 10, 2009

Mt Clinton Apt

Welcome Winter

Saturday, June 6, 2009

Your Name

I wrote your name in the sky,
but the wind blew it away.
I wrote your name in the sand,
but the waves washed it away.
I wrote your name in my heart,
and forever it will stay.

- Jessica Blade -
Let me not to the marriage of true minds
Admit impediments. Love is not love
Which alters when it alteration finds,
Or bends with the remover to remove:
O no! it is an ever-fixed mark
That looks on tempests and is never shaken;

It is the star to every wandering bark,
Whose worth's unknown, although his height be taken.
Love's not Time's fool, though rosy lips and cheeks
Within his bending sickle's compass come:
Love alters not with his brief hours and weeks,
But bears it out even to the edge of doom.
If this be error and upon me proved,
I never writ, nor no man ever loved.

William Shakespeare
(1564 - 1616)
A stranger you were once.
Then, with a gentle look you took my hand.
As our lives engaged,
you lit my life and I held both your hands.
Now that decades have passed,
ours souls have indeed become one.
How fortunate we are
that we have found the love so true
that everyone dreams about.

- Laura Veronica Merodio -

Wednesday, June 3, 2009

Ibuku sayang, Ibuku malang..!!

Sebuah kejadian yang patut mendapat tempat untuk direnungkan bersama. Saya sangat terkejut tatkala membaca kemudian melihat berita seorang ibu yang masuk ke bui gara-gara menulis emai keprihatinannya terhadap sebuah rumah sakit berkelas internasional. Berawal dari email yang dikirim oleh seorang Ibu bernama Prita ke 10 temannya, email tersebut berisikan kekesalannya atas pelayanan yang diberikan oleh sebuah rumah sakit swasta ditangerang  yang tak dinyanah kemudian beredar secara luas ke Mailing list. Sehingga Si Ibu ini dituduh mencemarkan nama baik rumah sakit yang lumayan berkelas ini. Dia dijerat Pasal 27 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Yang pada awalnya di BAP dengan oleh Pasal 310-311 kemudian oleh kejaksaan dia kembali dijerat dengan Pasal 27 UU no. 11 tentang ITE dengan hukuman maksimal 6 tahun dan denda 1 Milyar. Memang referensi hukum mengatakan bahwa UU ini ada dan berlaku mengikat, dan olehnya itu saya kira perlu dikaji ulang. Bunyinya: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”  

Ini saya kira akan menjadi momok baru dalam hal penggunaan internet media elektronika lainnya karena bernada multi interpretasi. Kalau memperhatikan kasus Ibu Prita seharusnya yang dikenakan adalah semua penyebar, para moderator milis, bahkan individu yang memforward pesan ini harus dijerat dengan pasal yang sama. Tapi buktinya tidak demikian. Selain itu pasal tersebut tidak memberikan pembenaran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pembelaan kepentingan umum. Bukankah Ibu ini berbicara untuk mengingatkan waspada terhadap pelayanan yang sifatnya money-oriented?

Saya tidak habis pikir dijaman demokrasi sekarang ini dimana kebebasan beropini dan kemerdekaan berpendapat selalu dijunjung tinggi, ternyata ada juga yang ‘menghargai’ kebebasan ini dengan hukuman ‘hotel prodea’ ala penjahat.

Kasus Ibu prita yang ditahan selama tiga pekan ini boleh menjadi tonggak pembelengguan hak-hak berdemokrasi di Indonesia. Hak rakyat untuk menyampaikan keluhan ternyata mendapat ancaman oleh penegak hukum. Penjara Ibu Prita adalah penjara terhadap kebebasan berpendapat. Keprihatinan terhadap kasus ini seperti yang diperlihatkan oleh beberapa pihak, harusnya menjadi keprihatinan kita semua. Penggunaan pasal pidana terhadap kasus prita ini membungkam kebebasan berpendapat yang sudah sekian lama kita perjuangkan. Dari kasus di atas terbersit pertanyaan: Apakah lembaga publik tidak lagi mau menampung kritikan/keluhan? Atau Apakah kita sudah sangat bebas dalam menyampaikan kritikan? Untuk siapa hukum ini dibuat?? 

 

Wassalam

 

 

 

Saturday, May 30, 2009

Ilusi Negara Islam (INI)

Penerbitan Buku/ebook Ilusi Negara Islam, menunai banyak kontroversi dikalangan ummat islam dan kalangan intelektual lainnya  refleksi dari perjuangan panjang organisasi-organisasi islam dalam melakukan pergerakan menuju perubahan ideologi di bumi Nusantara. Organisasi transnasional yang terdiri dari organisasi-organisasi islam garis keras yang berusaha merapatkan barisan untuk cita-cita mulia versi mereka, lambat laun “menyusup” kedalam barisan oraganisasi-organisasi Islam nasionalis.

Inilah bedanya organisasi politik dengan organisasi ummat, kalau organisasi politik selalu merapatkan barisan untuk sebuah kedudukan dan ambisi pribadi, organisasi ummat merapatkan barisan untuk kemaslahatan ummat seluruhnya. Jangan sampai partai politik yang berpayungkan islam (katanya sih) lebih merapatkan barisan untuk sebuah posisi/jabatan dan mengikis jumlah barisan ummat di mesjid-mesjid dan surau-surau.

Emang benar sih pendapat yang mengatakan ada dua sisi yang selalu berseberangan dalam perjalan sejarah ummat ‘al-nafs al-muthmainnah’ dengan ‘al-nafs al-lawwâmah’. Golongan pertama adalah mereka yang mampu menjinakkan hawa nafsunya sehingga selalu memberi manfaat kepada siapapun sedangkan kelompok berikutnya adalah mereka yang mengedepankan hawa nafsunya sehingga menjadi pembuat onar dan biang keresahan sosial. Semoga saja kedepan tidak terjadi apa yang menjadi ketakutan para ulama   al-haqq bi lâ nizhâmin qad yaghlib al-bâthil bi nizhâmin (kebenaran yang tidak terorganisasi bisa dikalahkan kebatilan yang terorganisasi).

Dari buku ini tersirat pesan bahwa kekuatan eksternal bukan satu-satunya kekuatan yang patut diwaspadai ada “MUSUH dalam SELIMUT” yang menjadi ancaman besar Islam dan NKRI kedepan. Sejarah telah mencatat beberapa pergerakan yang berusaha merubah wajah Negara Kesatuan ini dengan payung Islam versi mereka baik dengan senjata ataupun dengan perubahan konstitusi, namun selalu saja ada prajurit-prajurit NKRI yang membela Nusantara. Sekarang prajurit-prajurit ini hadir dalam bentuk organisasi islam moderat (NU dan Muhammadiyah) yang menyeru persatuan dalam keberagaman (many, yet one). Organisasi-organisasi transnasional yang diwakili oleh organisasi-organisasi islam haluan keras lambat laun “menyusup” kedalam barisan ormas-ormas Islam nasionalis.  

Dan semoga saja kita temasuk mereka yang kembali kepada-Nya dengan jiwa-jiwa yang tenang bukan jiwa yang resah penebar benih-benih konflik yang meresahkan. Dari buku ini tersirat pesan bagi kita semua utamanya ummat islam untuk selalu “waspada” akan pergerakan organisasi ini namun pada saat yang sama kita harus “waspada” akan maksud dan tujuan dibalik penyebaran buku ini. Simpanlah pujian terhadap buku ini, karena sesuatu yang tampak bermanfaat mungkin saja berbahaya. Namun buanglah cemoohan karena boleh jadi yang kelihatan berbahaya bisa saja bermanfaat. Wassalam...        

  

Buku Ilusi Negara Islam ini dapat didownload disini:

http://www.bhinnekatunggalika.org/galeri.html

Education and Conflict

Conflict that happens over the time affects the life of the people and land they lived in. Many lives are taken away, regardless to their age and sex.  One of the impacts of the conflict toward people is the mass destruction of educational infrastructures. Millions of children are prevented from attending schools. The impacts should be able to help us understanding how this uninvited guest damages the future life of our children. To help youth counteract despair of about large scale destruction in the communities caused by the conflict, peace educators draw upon peace theory to teach them the skills to construct a peaceful world and the motivation to live their lives based upon nonviolent principles.     

In 2004, it is estimated that half of the 104 million children not attending primary school live in countries in, or recovering from conflict (UNESCO, 2004)[1]. UNESCO therefore regards the conflicts and their consequences as the major obstacle in achieving the EFA ‘Education for All’ objectives by 2015 (UNESCO, 2000).[2] Realizing the importance of the educational institution towards the conflict, Tomlinson, K and Benefield suggest that education is increasingly seen to have a role to play in mitigating and/or exacerbating conflict.[3] Education can provide a protective function for children in conflict or post-conflict situations (Nicolai and Triplehorn, 2003)[4] as it plays crucial role in children care (Fletcher-Campbell et al., 2003).[5] The UNESCO Commission for Education for the 21st Century also believed in the fundamentally positive power of education by regarding education as one of the most important means of advancing the development of the human race in as enhanced manner and with greater harmony. With its help poverty, exclusion, ignorance, repression, and wars may be reduced” (German UNESCO Commission 1997).[6]     

Education can help promoting the social cohesion in the community. It enables to overcoming social inequality and is the key to equal societal participation. The World Bank summarizes the key significance of education in reinforcing the social cohesion: “By improving people’s ability to function as members of their communities, education and training increase social cohesion, reduce crime and improve income distribution”.[7]       

Even though, there are a widespread agreements about the positive roles of education in mitigating conflict, but research recent evidence has proved that this is not always the case. In many conflict around the world, the education is part of the problem, not the solution.[8] The destructive potential of education is not only when education is abused for the purposes of war propaganda but also when there is baiting and agitation of other ethnic groups and ethnic minorities in schools and classrooms.



[1]Tawil, S. and Harley, A. (Eda) (2004). Education, Conflict and Social Cohesion. Geneva: UNESCO International Bureau of Education.

[2]UNITED NATIONS EDUCATIONAL, SCIENTIFIC AND CULTURAL ORGANIZATION (2000). TheDakar Framework for Action. Education for All: Meeting our Collective Commitments [online].

Available at: http://unesdoc.unesco.org/images/001211/121147e.pdf [26 Januari, 2005].

[3]Tomlinson, K and Benefield, P (2005). Education and Conflict. Research and Research Possibilities. 

Available at: http://www.nfer.ac.uk/publications/pdfs/downloadable/ECOreport.pdf

[4]Nicolai, S. and Triplehorn, C (2003). The Role of Education in Protecting Children in Conflict (Humanitarian Practice Network Paper 42). London: Overseas Development Institue.

[5]Fletcher-Champbell, F., Archer, T. and Tomlinson, K. (2003). The Role of the Schoole in Supporting the Education of Children in Public Care (DfES Research Report 498). London: DfES.

[6]UNESCO. (1998). From War to Peace in History Books. In UNESCO Education news, No. 11, December 1997 – February 1998. UNCESCO, Paris  

[7]World Bank (2002b): Lifelong Learning in the Global Knowledge Economy. Challenges for Developing Countries (Draft). Washington, D.C.

[8]Bush and Salterelli, (2000). The Two Faces of Education in Ethnic Conflict: Towards a Peacebuilding Education for Children. Florence: UNICEF Innocenti Research Centre.

Friday, May 29, 2009

Pesan Cinta

Majnun dibunuh oleh kecintaannya kepada Laila,
Qarun dibunuh oleh cintanya kepada harta,
Fir'aun dibunuh oleh cintanya pada kedudukan,
Tapi Hamzah Ja'far, dan Hanzhalah dibunuh karena
cintanya pada Allah dan rasul-Nya. Alangkah Jauh
kadar cinta seorang manusia kepada lainnya
dan manusia kepada Sang Khaliq.

Jadikan diri anda wali dan kekasih Allah
karena orang yang paling bahagia adalah
orang yang menjadikan puncak dan tujuan
utamanya adalah cinta kepada Allah.

Monday, May 25, 2009

Peace Education in Indonesia

Aceh is located on the northern tip of the Indonesian island of Sumatra. Aceh is economically and strategically important to Indonesia. Aceh’s economic value lies in its source of oil and gas deposits, primarily from the Exxon-Mobil-run Arun LNG plant just offshore from North Aceh (Pasai). In 1997 Aceh provided 17 per cent of Indonesia’s almost US$12 billion in oil and gas export revenue, making Arun Indonesia’s fourth largest export earner. Aceh also has extensive mining, forestry and plantation agriculture, and potential as a major centre of trade.

Aceh strategic value is in its bordering the province of North Sumatra, and its position at the northern end of the Malacca Straights, which is one of the world’s busiest waterways and through which travels around a quarter of the world’s oil, two-thirds of liquid natural gas and up to a third of all other trade. Aceh has a distinctive majority language and culture, including a widely held devout adherence to Sunni Islam. Aceh was one of the first regions to be converted to Islam (from the 13th century or even before) and the Kingdom of Aceh had a long history of commercial and cultural links with the Islamic world of the Middle East and India. Today it retains a deeper attachment to Islamic culture than most parts of Indonesia.

After more than 25 years of violent conflict in the regions, both of the warring parties the GAM (Free Aceh Movement) and the Indonesian government decided to start the peace talks facilitated by a Finland-based NGO, the Crisis Management Initiative, and led by former Finnish President Martti Ahtisaari. Earlier efforts of the peace talks had failed, but for a number of reasons, including the tsunami, peace prevailed in 2005.

…write your comment(s) to subscribe more……>>>

Advocacy Campaign Paper

LEGAL PAPERS FOR IDPs LAND OWNERSHIP ADVOCACY

1. Background of Advocacy

During the conflict in Poso district, most of the Christians in Poso town, Poso Pesisir and some suburbs ran away to Tentena areas, and they were living there as IDPs, at the same time due to the tensions most of the Muslims in Tentena ran away to Poso town and suburbs and lived there as IDPs.  So, the Christians (Native and IDPs) captured Muslims’ land in Tentena and the same happened to the Lands of the Christians in Poso town and suburbs.

Both the parties claim that the lands of each other are not captured and could be returned, but no body is moving with actions! This is because no one has legal papers for their lands in both the sides, the government for a long time has been in difficult situation regarding this issue, but during the first quarter of the year the government has taken some small initiative, yet government too is in dilemma when it comes to providing legal documents and dragging the issue some more.

As the government’s ignorance about the existence of IDPs in Poso and Tentena by declaring that there are no more people with status as IDPs, I will work with my organization to conduct an advocacy project. There are two reasons why I need to involve my organization dealing with this issue; firstly, I realized how importance this issue to the local people as well as my organization peace campaign. Secondly, I realized that an individual working alone without a group or organization is unlikely to make a significant impact on any social or political issue.    

In the contrary to the government’s declaration, there are about more than 200 hundreds of IDPs spreading out in Tentena and some others in Poso Kota. This is a clear message for us that the government especially the local government is ignoring the IDPs and indeed if this issue is not addressed, then surely this will further worsen the situation and even becomes the new sources of conflict.

As a consequence, most of the IDPs have difficulty in dealing with their own property whenever they went back to their original place. One of the problems they have especially in Poso and Tentena is getting their land back. Most of the time other local people have used the land, and when they claim the land they cannot make it because they have no proof of it. This then, creates another tension and if it does not resolve it can create another conflict.  In addition to this, the land dispute-related issue usually involves the land left by IDPs as well as the land occupied by IDPs. Other than the lack of traditional land borders, the lack of clear and written record on land and ownership is something that encourages land dispute.

Many little people doing many little things in many little places can change the face of the world!

…write your comment(s) to subscribe more……>>>

 


 

 

 

 

 


 

 

Pembangunan sensitif konflik

Konflik telah menciptakan berbagai malapetaka kemanusiaan, jumlah korban dan kerugian materil serta keterpurukan ekonomi selalu menjadi barometer betapa konflik telah merusak sendi-sendi kehidupan umat manusia diberbagai belahan dunia. Intervensi pun dilakukan oleh dunia international sebagai wujud dari tanggung jawab moral masyarakat international terhadap luka serta duka mendalam yang dialami oleh saudara mereka belahan dunia yang lain.

Konflik merusak kehidupan masyarakat dengan memusnahkan institusi politik, melululantahkan infrastruktur, melumpuhkan sumber daya, dan mengganggu jaringan bisnis dan interaksi sosial. Pembangunan pun dilakukan sebagai respon atas terhentinya denyut nadi pertumbuhan ekonomi sebagai akibat dari ‘tamu tak diundang ini’.

Pembangunan memiliki tujuan akhir yang mulia yaitu mengurangi kemiskinan, namun niat baik ini terhalang oleh kerusakan akibat konflik kekerasan sehingga mustahil menjangkau tujuan mulia ini tanpa menempatkan isu konflik sebagai agenda pertama dan utama.

Jadi pembangunan tidak hanya dipengaruhi oleh konflik, namun disaat yang bersamaan pembangunan juga memiliki dampak terhadap konflik. Berpijak dari pemikiran inilah mengapa isu konflik harus diletakkan sebagai batu pertama pembangunan ekonomi daerah postkonflik.

Apa itu pembangunan yang sensitif konflik?

Ada beberapa makna yang terkandung di dalam pembangunan sensitif konflik, diantaranya adalah: 

-      Mengerti pada konteks mana pembangunan dilakukan. Untuk mengerti konteks konflik maka selayaknya organisasi donor melakukan analisa konflik dan mengupdate analisa tersebut sepanjang waktu secara teratur.

-      Mengetahui interkasi antara intervensi pembangunan yang dijalankan dengan konteks yang ada. Dalam tingkatan ini organisasi pendonor harus mampu menghubungkan tindakan intervensi yang diambil dengan analisa konflik kedalam perencanaan, implementasi, monitoring, dan evalusi aktifivitas-aktivitasnya (proramme cycle).

-      Untuk menghindari dampak-dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif yang ditimbulkan oleh pembangunan di daerah postkonflik organisasi pendonor harus mengubah aktivitas-aktivitasnya, partner kerja dilapangan, atau cara mereka bekerja dilapangan.

Pendekatan sensitif konflik ini memang membutuhkan analisa konflik yang dilakukan secara teratur. Tidak mengherankan jadinya kalau didalam beberapa referensi menyebutkan bahwa kunci dari pembangunan sensitif konflik terletak pada analisa konfliknya. Tetapi juga perlu diingat bahwa analisa konflik bukanlah ‘the whole story’, dari pendekatan sensitif konflik ini. Apa yang terjadi di Kenya selayaknya menjadi pelajaran yang berharga bahwa analisa konflik bukan satu-satunya faktor penentu kebijakan pembangunan di daerah postkonflik. Kalau di suatu daerah sudah dianggap stabil maka tidak terlalu krusial kiranya untuk melakukan analisa konflik.     

‘There’s no long-term security without development, there is no development without security,” Kofi Annan, 2006

   

  


Saturday, May 23, 2009

Uniquely Peace Education

Since every state and nation have completely different kinds of educational systems, thus implementing PE will vary in terms of styles and emphasis. A review of the programs of education for peace in different states indicates that they differ considerably in terms of ideology, objectives, emphasis, curricula, and practices (Bjerstedt, 1998). For example, in Australia, peace education focuses on challenging ethnocentrism, cultural chauvinism, and violence, on the other hand, and promoting cultural diversity, nuclear disarmament, and conflict resolution on the other(Burn, R.J; Aspeslagh, R. (Eds.), 1996). In Japan, peace education was generally defined narrowly as ‘anti-atomic bomb’ education. Most recently, the influence of third world perspectives, there has been a broadening notion of peace education to include the study of the origins of Japanese militarism. PE in Japan mostly targets issues of nuclear disarmament, militarism, and the nature of responsibility for acts of violence performed in the past (Murakami, 1992). In South America, peace education is preoccupied with structural violence, human rights, and economic inequality (Garcia, 1998). PE in Ireland is referred to as “Educational for Mutual Understanding,” as Catholics and Protestant try to use educational strategies to undo centuries of enmity (Whyte, 1991). Likewise in Korea, peace education is referred to as “Reunification Education.” (Synot, 2002)    

In Indonesia especially in Aceh the emphasis of PE is given to inequality, violence, and a highly traumatized population with separatist movement. Despite of the difference emphasis and context mentioned above, there is something in common can be found in common in relation to the objective. All of the objectives mentioned above, fostering changes that will make the world a better, more humane place, as consequences the PE should be able to encourage pupils and teachers to voice changes for better world. Salomon, et al (2002) stated: PE mobilizes pupils and teachers to take part in a campaign for change. They are to raise their banner toward an alternative vision of society within the aim of counteracting the beliefs, attitudes, and actions that contradicts the objectives of peace education.