Thursday, December 24, 2009

Renungan Ramadhan

Ada beraneka ragam pembahasan berkenaan dengan shiyam (puasa) pada bulan ramadhan yang tentunya sangat menarik untuk kita ambil hikmah di dalamnya. Salah satu diantaranya adalah yang terdapat pada penggalan surat Al-Baqarah (183): “….Kama kutiba ‘alal ladzina min qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas(umat-umat) yang sebelum kamu).
Menurut Ahli tafsir kondang Quraish Shihab, merujuk kepada redaksi ayat tersebut beliau berpendapat bahwa terdapat rahasia pemilihan redaksi kalimat pasif dalam menetapkan kewajiban berpuasa. Menurut beliau Kutiba ‘alaikumush shiyama (diwajibkan atas kamu berpuasa) tanpa menyebutkan siapa yang mewajibkannya. Bisa saja kita bersepakat bahwa pemilihan bentuk redaksi ini disebabkan karena yang mewajibkan sudah sedemikian jelas yaitu Allah SWT.
Tetapi pada saat yang bersamaan ini juga dapat mengisyaratkan bahwa seandainya bukan Allah yang mewajibkan puasa, maka manusia yang menyadari manfaat puasa, akan mewajibkan sendiri dirinya untuk berpuasa. Ini terbukti bila kita lihat dari motivasi berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang selama ini dilakukan manusia, bukan semata-mata atas dorongan ajaran agama misalnya demi kesehatan, atau kecantikan tubuh. Seorang ahli kesehatan Rusia yang bernama Dr. Yuri Nikolayev, menilai kemampuan untuk berpuasa yang mengakibatkan orang yang bersangkutan menjadi awet muda, sebagai suatu penemuan (ilmu) terbesar abad ini. Beliau mengatakan: “what do you think is the most important discovery in our time? The radioactive watches? Bombs? In my opinion the biggest discovery of our time is the ability to make oneself younger physically, mentally and spiritually through rational fasting”. Ini sejalan dengan pendapat Alvenia M. Fulton, Direktur Lembaga Makanan Sehat “Fultonia” di Amerika Serikat “fasting is the ladies best beautifier, it brings grace charm and poice, it normalizes female functions and reshapes the body contour.”
Saya jadi teringat tatkala Mahatma Gandhi yang mempraktekkan puasa untuk menghentikan tindakan kekerasan yang dilakukan pengikutnya, yang karena itu menjadikan dirinya icon perdamaian dunia yang diabadikan oleh sejarah dalam lembaran-lembaran kisah perjuangannya. Namun sebagai muslim salayaknya kita berbangga ‘dua kali’ karena puasa: Kali pertama kita harus bangga dalam syukur kita terhadap segala manfaat puasa yang beraneka ragamnya. Sebagaimana tersirat dalam sabda Nabi: “andaikata umatku tahu pasti tentang sesuatu yang tersembunyi dalam bulan ramadhan, pasti mereka megharap seluruh bulan dalam setahun menjadi bulan ramadhan” Kali kedua kita seharusnya berbangga karena kita mengharapkan pahala dan taqwa karenanya. Bukankah Allah mengistimewakan Puasa ini di dalam hadis qudsiNya, "Setiap amalan anak Adam itu untuk dirinya, kecuali puasa. Itu milik-Ku dan Aku yang membalasnya karena ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku." (HR Bukhari Muslim).
Didalam bukunya Madarij As Salikin, Ibn Qayyim menggambarkan puasa sebagai perjalanan menuju Allah. Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak iblis yang merayu, agar perjalanan tidak dilanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad tetap membaja, tidak surut hati oleh cabaran serta godaan sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, disana tampak tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah Swt.
Semoga puasa kali ini menumbuhkan benih2 kebajikan yang tertabur dilahan jiwa kita sehingga menjadi bekal meraih puncak taqwa sebagai kunci terbukanya pintu2 Ar Rayyan yang Allah khusus ciptakan bagi mereka yang menjalankan puasa di bulan yang suci ini.

Salam
Shenandoah Valley

1 comment:

  1. Salam sejahtera..

    sekapur sirih dari saya seorang awam yang coba mencari kebenaran hakiki dalam sebuah kebenaran.

    hemat saya, pemilihan redaksi kalimat pasif pada surah al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi "kutiba" tersebut lebih pada makna sesungguhnya yaitu "telah diwajibkan". dalam bahasa Arab kata "kutiba" berasal dari kata "kataba" yang artinya menulis atau mewajibkan, dan kata "kutiba" yang bersifat pasif bermakna diwajibkan dan dibubuhi dengan kata "telah" sebelumnya "telah diwajibkan" karena redaksi setelah kata "kutiba 'alaikum as-shiyam" ada penjelasan "kama kutiba 'ala al-ladzina min qablikum" yang artinya "sebagaimana puasa itu telah pernah diwajibkan terhadap orang-orang sebelum kamu", dan redaksi inilah yang memastikan kebulatan kalimat pasif "kutiba" adalah bermakna "telah diwajibkan" karena adanya penjelasan kalimat pasif sesudahnya yang menjelaskan pernah diwajibkan sebelum perintah ini diterima oleh pihak ke2 "telah pernah diwajibkan".

    bukan bermaksud menyangkal dualisme interpretasi mufassir kondang Quraish Shihab, tapi seperti yang saya katakan sebelumnya "mencari kebenaran hakiki dalam sebuah kebenaran".
    tapi apapun itu semoga kita semua bisa menjadi penghuni ar-Rayyan in the life after. amin.

    salam.

    ReplyDelete