Tuesday, October 19, 2010

Monday, October 11, 2010

Saturday, June 5, 2010

Asa dan Realita

Setahun sudah kunjungan Obama ke Kairo berlalu, sebuah lawatan ditengah meregangnya hubungan Barat dengan negara Muslim. Sebuah usaha untuk menambal kekecewaan dan menghembuskan angin segar kepada negara muslim akan komitmen kedepan pemerintah US yang digawangi oleh Demokrat sejati. Didalam pidatonya, Obama mengingatkan dunia Barat untuk menghapus stereotype Islam dimata mereka demikian juga sebaliknya menasehati negara2 Islam untuk tidak menghembuskan ketelinga ummatnya imej2 yang mendeskreditkan negara Barat. Bahkan Obama menukil 4 ayat Al Qur’an dalam usahanya untuk menjembatani ‘kemesraan’ yang hampir hilang antara Barat dan negara Islam pada umumnya. Dibulan ini tahun yang lalu ada Asa yang coba dihadirkan oleh negara Barat di bawah perwakilan US. Asa yang lahir dari kebersamaan dan pengertian antara Barat terhadap Islam dan Islam terhadap Negara barat. Adakah harapan bersama itu diraih selama setahun ini?

Jawabannya tentu tidak! perang yang disponsori oleh US dan EU di beberapa negara Islam (Afghanistan, Pakistan, Yaman, dsb) pelarangan Burqa di Francis, diharamkannya pembangunan menara mesjid symbol keagungan dan keindahan arsitektur Islam di Swiss, dan tentunya perang antara Israel dan Palestina. Namun anehnya pada thn 2009 lalu Obama dianugerahi noble peace prize, dimana pada saat itu dia bahkan berpesan ‘legitimasi perang’ yang dia balut dengan bahasa ‘instruments of war do have a role to play in preserving the peace’. Sepanjang legitimasi perang ini selalu didengung-dengungkan oleh pemimpin dunia maka sepanjang itu pula damai damai dipermukaan bumi akan ‘malu’ menampakkan dirinya karena kelihatannya masyarakat manusia lebih menikmati perang demi sebuah ideologi industri persenjataan yang menguntungkan segelintir negara-negara barat. Saya bertanya-bertanya.. Bagaimana mungkin Commander in Chief dari sebuah negara yang terlibat perang 2 perang besar saat ini mendapat tanda kehormatan sepeti itu?

Tragedi kemanusiaan yang terjadi di atas kapal Mavi Marmara tak pelak lagi menambah keraguan saya akan niat tulus Amerika dalam membangun kebersamaan dengan negara2 muslim. Saya tidak dapat membayangkan tatkala negara Islam yang melakukan ‘pembajakan’ terhadap kapal kemanusiaan ini. Saya yakin betul perang terhadap negara muslim pasti dikumandangkan oleh Amerika dan sekutunya. Tetapi karena yang melakukan bukan dari golongan Islam, mereka tidak banyak membicarakannya bahkan melontarkan kata maaf saja mereka enggan. Inilah yang kita sebut dengan double standard negara Barat. Ini sejalan dengan logika Al-Quran: "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sampai kamu mengikuti agama mereka."

Reaksi demi reaksi berdatangan terutama sekali dari negara Turki yang selama ini menjadi negara Islam yang berdiri dibelakang Israel, mengutuk tindakan ini serta memutuskan hubungan kerja sama baik militer maupun ekonomi. Europe juga bernada yang sama, menginginkan adanya investigasi independen atas kejadian ini. PBB menginisiasi pertemuan untuk diadakannya investigasi kejadian ini. Apakah semua ini akan berakhir dengan indah bagi panduduk palestina? Bagi saya ‘jauh panggang dari api’ Kalaupun penghapusan blokade ini dilakukan, hal ini tidak akan menjawab dan menyelesaikan konflik yang terjadi di salah satu dari tiga tempat suci ummat Islam di dunia ini. Akar konflik ini adalah perampasan hak-hak penduduk palestina oleh Yahudi, maka sepanjang restorasi hak-hak penduduk palestina ini tidak dilakukan sepanjang itu pula perjuangan mujahid-mujahid muda palestina tak akan pudar. Two state solution yang digembor-gemborkan oleh negara barat bagi saya justru akan menyengsarakan pihak palestina, bagaimana tidak! Israel telah menduduki lebih dari separuh Palestina tidak ada lagi yang tertinggal bagi mereka tanah, air, olive oil bahkan pemukiman mereka diluluhlantahkan oleh Iblis berwujud manusia ini.

Kemana hilangnya kejayaan ummat Islam sejak abad ke 9, kapankah ‘forgotten history’ tentang kejayaan peradaban Islam di Eropa itu kembali ditulis? Dimanakah kemegahan istana El-Hamra akan kembali didirikan, Siapakah yang akan mebangun lambang kekuasaan dan kejayaan peradaban islam seperti Madinat Az Zahra, atau mendirikan menara mesjid berarsitektur seindah Great Mosque of Cordoba. Kapankah terlahir kembali ilmuwan wanita muslim secerdas Al-Ijliya Al Astrulabi penemu Astrolabe yang menginspirasi pengembangan alat2 astronomi atau Seorang Ibnu Sina, dalam ilmu kedokteran? Atau Pionir Philisuf sekelas Ibn Rushd, yang telah mengantar Europa dari "Dark Ages" menjadi kiblat peradaban dunia.

Semoga Asa ini melahirkan realita di masa datang..Amin.

Salam
Washington, DC


Uri

Wednesday, May 19, 2010

Habis Gelap Terbitlah Terang

“Masih Syukur Listrik Giliran Padam...Nah Klu di Alam kubur sana mana ada Listrik..Yg Ada hanya kegelapan..Ht2 Kwn Prsiapkn diri dgn lilin sblm mnuju ksana..”

“Polemik krisis listrik di Palu dan
sekitarnya terus berlanjut. Kata kawan saya Kalau ada pembangkit
listrik tenaga air dan tenaga matahari sebaiknya ada juga pembangkit
listrik tenaga dalam..”

“Sudah pake tenaga diesel, tenaga uap, LISTRIK msh juga sering padam..Nah..Mending pake tenaga Angin berupa kentut !!! biaya murah kapasistas 30.000 MWatt...Ayo !!”

Demikian beberapa komentar status di FB. Sehari kalau komennya ttg lampu pasti dari Palu. Ada beberapa yang beropini masalah lampu ini sudah tergolong isu nasional, tidak salah karena memang masalah pemadaman ini juga terjadi dikota lain. Ada yang berargumentasi bahwa ini bukan tanggung jawab Pemda ada juga sebaliknya, ini juga tidak salah karena memang tidak tertulis didalam tugas abdinya kepada masyarakat namun menurut saya pendapat seperti ini tidak membangun karena Pemda, Pemkot, Pemprov dan Pem2 yang lain bagi saya ibarat ‘imam’ mereka adalah suara dan pergerakan masyarakat. Keluhan rakyat selayaknya meneteskan air mata pemerintah. Ini patut menjadi tanggung jawab moral bagi mereka pemegang kewenangan.

Jangan hanya menari2 didalam kegelapan dan membiarkan masyarakat memejamkan matanya di dalam ketidakpastian. Do something! Kalau sudah melakukan sesuatu pertanyaan selanjutnya adalah apakah sudah maksimal usaha tersebut?
Terlebih lagi kita di dalam konteks Otonomi, pemerintah daerah punya kewenangan untuk mengambil kebijakan yang tepat menyangkut kebajikan bersama. Siapa yang akan mewakili masyarakat palu di meja negosiasi?

Hikmah yang kita idam2 kan berkenaan dengan masalah PLN ini adalah PERUBAHAN. Namun dilemma dari kata ini adalah kita senang mendengarnya dan mengucapkannya tetapi manakala perubahan ini dialamatkan ke diri kita pribadi, terkadang yang bersangkutan reaktif dan enggan untuk memulai perubahan itu. Supaya perubahan ini terlaksana harus ada ‘konflik’ sebagai tenaga penggeraknya. Konflik yang menuju perbaikan adalah konflik yang terjadi tanpa kekerasan. Ingat konflik itu alami tetapi kekerasan tidak.

Ironis memang disaat yang lain meneriakkan ‘Perubahan’ ada segelintir orang yang mendengarkan saja enggan apalagi merangkul perubahan itu. Mereka ini adalah sekelompok yang diuntungkan oleh keadaan. Sehingga mereka lebih cenderung untuk menghalangi arah perubahan itu dengan menghalalkan segala cara. Mereka menari-nari di atas penderitaan orang lain. Astagafirullah!

Tawaran solusi pun bermunculan ada yang menggunakan pendekatan top-down melalui pemerintah pusat dan ada pula yang menawarkan solusi bottom-up. Pendapat pertama saya kira sulit melihat konteks demograpi kita, secara teknis pemerintah tidak bisa menyelesaikan berjubel masalah secara bersama. Masalah di Jakarta saja sulit untuk mereka selesaikan. Yang kedua di dalam mengambil keputusannya Pemerintah selalu berkoordinasi dengan representasi dari pemerintah lokal, nah kalau pemerintah lokal saja tidak merasa bertanggung jawab atas segala yang terjadi di wiliyah kewenangannya bagaimana mungkin kita bisa berharap pemerintah akan memikul tanggung jawab ini.
Bagi yang menganut pendekatan Bottom up biasanya terkendala dalam hal dana, satu masalah yang sangat krusial. Dan tentunya juga mobilisasi, biasanya sangat sulit karena jumlah massa yang terlalu besar dan mencairnya komitmen yang ada di bawah ‘tidak seiya sekata dalam tutur dan tindak tanduknya. Jadi…?

Hemat saya harus ada sekelompok orang yang bisa menjembatani Pemerintah dan Masyarakat, orang ini adalah mereka yang tidak berkepentingan dalam politik dan tidak disibukkan oleh urusan ‘perut’ sehingga bisa mendedikasikan sebagian waktunya untuk kepentingan orang bersama. Siapa mereka? Boleh jadi akademisi yang berintegritas, bisa jadi pemimpin NGO’s yang bekerja untuk kemanusiaan, pemuka etnik/agama yang bicara atas nama dan untuk kepentingan ummatnya. Ini yang kita harus maksimalkan peranannya di dalam menyelesaikan masalah2 sosial yang berkepanjangan. Mereka inilah yang dapat mengkomunikasikan kepentingan Pemerintah dan kepentingan akar rumput. Mereka inilah yang dapat menyiapkan meja diskusi dan menyusun agendanya. Dan yang paling penting dari peran mereka adalah mencoba untuk memberdayakan dan mendidik masyarakatnya. Memberi pencerahan akan hak-hak dan kewajiban akar rumput bahasa moderennya sih, advokasi. Sehingga masyarakat tidak dininabobo’kan dengan ketidakadilan, tatkala masyarakat sudah mengerti akan hak-haknya biasanya disinilah munculnya aspirasi PERUBAHAN. Aspirasi ini biasanya tidak muncul kepermukaan karena masyarakat tidak tau bahwa mereka adalah korban dari kekerasan berstruktur (structural violence).

Namun perubahan bagi sekelompok orang dianggap sebagai malapetaka, karena mereka akan kehilangan aset besar sehingga mereka resisten dan tidak akomodatif. Olehnya itu masyarakat sebagai agen perubahan harus mengidentifikasi ‘kawan’ dan ‘lawan’. Bagi mereka yang tergolong kawan masyarakat harus mampu merapatkan barisan menyatukan komitmen dan sumber daya untuk melakukan konfrontasi dengan pihak lawan. Konfrontasi yang dimaksud adalah konfrontasi yang sehat, tawar-menawar solusi yang terbaik dan jual-beli ide, bukan tukar menukar tinju dan taekwondo.
Kalau masyarakat sudah berdaya dan punya kekuatan untuk mengangkat perubahan kepermukaan terbukalah pintu negosiasi antara yang pro dan kontra. Negosiasi terkadang buntu karena kekuatan yang tidak seimbang antara satu pihak dengan pihak yang lain. Terkadang juga negosiasi tidak berpihak pada masyarakat karena perundingnya tidak kompeten dan tidak mewakili rakyatnya. Dalam konteks palu, saya kurang mahfum faktor kegagalannya dimana, hal yang pertama atau yang kedua, ataukah kedua-duanya? Nauzubillah..!

Kita berharap negosiasi ini berujung pada pencapaian kesepakatan yang memihak kepada kepentingan Rakyat, dan semoga kegelapan di Palu di terangi oleh Lampu Perubahan buah dari komitmen menuju kesejahteraan bersama. Habis Gelap Terbitlah Terang.


Wassalam
Shenandoah Valley

Tuesday, May 11, 2010

The paradox of Justice and Mercy

Damai itu menuntut keadilan, pada saat yang bersamaan untuk berdamai kita butuh pengampunan demi memulai sesuatu yang baru. Dari persfektif damai dua konsep ini menghadirkan paradoks yang menarik.
Keadilan menuntut pengembalian hak kepada pemiliknya, serta memperbaiki kesalahan tanpa menanggalkan konsekuensi terhadap perbuatan pelaku pelanggaran. Memberi ampun disisi yang lain melibatkan rasa kasihan kepada pelaku, memberi ruang ‘manusiawi’ dalam setiap tindak tanduk perbuatan seseorang.
Pernah suatu ketika saya mengunjungi sebuah penjara di Charlottesville, Virginia untuk melakukan wawancara kepada napi, pernah sekali seorang Napi berkata kepada kami ‘…yang membedakan saya (sebagai napi) dan anda adalah bahwa saya tertangkap oleh polisi terhadap kejahatan yang saya lakukan sedangkan Anda tidak..’ ini memberi isyarat bahwa kita selama masih menganggap diri kita manusia pasti kita akan melakukan kesalahan. To err is human.
Kedua energi saling bersinggungan satu dengan yang lain. Namun Uniknya, damai mengajarkan kita untuk menggengam kedua energi ini, dengan kata lain menegakkan keadilan dengan tetap mengindahkan rasa hormat terhadap pelaku dan membuka pintu maaf bahkan sebelum si pelaku mengetuk pintu maaf itu. Hukumlah pelaku sebagai konsekuensi perbuatannya tapi maafkanlah dia atas segala kelalaiannya, untuk membuka lembaran yang baru. PEACE = JUSTICE + MERCY. Dengan demikian Insya Allah damai bersama kita, dan bersama kita damai.

Salam
Shenandoah Valley


Uri

Sunday, January 3, 2010

'Akal dan Iman'ku

Tidak semua yang berakal itu beriman tetapi yang beriman sudah tentu berakal. Merenungi makna tersirat di dalam pernyataan ini, timbul suatu pertanyaan mengapa yang berakal itu tidak beriman? Untuk menjawabnya terlebih dahulu kita harus memahami sumber atau titik tolak akal dan iman. Akal itu sumbernya terdapat pada kadar ‘ilmu ‘ yang dimiliki sedangkan Iman disisi yang lain bertitik tolak pada ‘hati’, oleh karena terlahir dari dua sumber yang berbeda maka logika akal juga tentunya berbeda dengan logika iman. Sehingga terkadang lebih mudah bagi kita untuk mengubah pendapat ilmiah kita dibanding mengubah kepercayaan dan keyakinan kita.

Cara kita memahami dunia dan sekitar sangat bergantung pada sebarapa banyak ilmu dan pengetahuan kita tentang dunia dan sekitarnya. Semakin bertambah pengetahuan kita tentang sesuatu seharusnya menjadikan kita semakin bijak dalam bertindak dan santun dalam berprilaku, sebaliknya secuil ilmu yang dimiliki, hanya akan menjadikan seseorang liar dalam bertindak dan buta di dalam berprilaku.

Sejenak saya akan menghidangkan beberapa perbedaan Akal dan Iman menurut beberapa Muslim Scholar, salah satunya adalah pendapat Mutada Almutahhari berkenaan dengan perbedaan Iman dan Akal dia berpesan, bahwa Akal itu menyelamatkan kita dari petaka duniawi sedangkan Iman menyelamatkan kita dari petaka ukhrawi, Akal itu menyesuaikan Anda dengan lingkungan sedangkan Iman mengantar Anda untuk mengenal jati diri Anda sendiri, Akal itu memudahkan seseorang mencapai tujuannya, sedangkan Iman itu menentukan arah yang dituju, Akal itu bagaikan air telaga yang tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya sedangkan Iman itu ibarat air bah tetapi selalu menenangkan hati pemiliknya.

Kebenaran ilmu adalah "kebenaran akal", sedangkan kebenaran iman adalah "kebenaran wahyu". Peradaban ‘akal’ dimulai dengan karya Newton (1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel (1770-1831). Peradaban ‘Iman’ lahir dengan kehadiran Al-Quran, dan Astaghfirullah kalau menunjuk masa akhirnya. Sejak dini Al-Quran sudah memadukan usaha dan pertolongan Allah, akal dan iman, serta pikir dan zikir. Akal tanpa kalbu menjadikan manusia seperti robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti setan.

Akal dan Iman adalah dua hal yang tak sama, namun bersama Akal dan Ilmu memanusiakan manusia dan menghidupkan hidup. Seandainya Anda hanya diberi satu pilihan antara Ilmu atau Iman, apa yang Anda akan pilih?