Sunday, January 3, 2010

'Akal dan Iman'ku

Tidak semua yang berakal itu beriman tetapi yang beriman sudah tentu berakal. Merenungi makna tersirat di dalam pernyataan ini, timbul suatu pertanyaan mengapa yang berakal itu tidak beriman? Untuk menjawabnya terlebih dahulu kita harus memahami sumber atau titik tolak akal dan iman. Akal itu sumbernya terdapat pada kadar ‘ilmu ‘ yang dimiliki sedangkan Iman disisi yang lain bertitik tolak pada ‘hati’, oleh karena terlahir dari dua sumber yang berbeda maka logika akal juga tentunya berbeda dengan logika iman. Sehingga terkadang lebih mudah bagi kita untuk mengubah pendapat ilmiah kita dibanding mengubah kepercayaan dan keyakinan kita.

Cara kita memahami dunia dan sekitar sangat bergantung pada sebarapa banyak ilmu dan pengetahuan kita tentang dunia dan sekitarnya. Semakin bertambah pengetahuan kita tentang sesuatu seharusnya menjadikan kita semakin bijak dalam bertindak dan santun dalam berprilaku, sebaliknya secuil ilmu yang dimiliki, hanya akan menjadikan seseorang liar dalam bertindak dan buta di dalam berprilaku.

Sejenak saya akan menghidangkan beberapa perbedaan Akal dan Iman menurut beberapa Muslim Scholar, salah satunya adalah pendapat Mutada Almutahhari berkenaan dengan perbedaan Iman dan Akal dia berpesan, bahwa Akal itu menyelamatkan kita dari petaka duniawi sedangkan Iman menyelamatkan kita dari petaka ukhrawi, Akal itu menyesuaikan Anda dengan lingkungan sedangkan Iman mengantar Anda untuk mengenal jati diri Anda sendiri, Akal itu memudahkan seseorang mencapai tujuannya, sedangkan Iman itu menentukan arah yang dituju, Akal itu bagaikan air telaga yang tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya sedangkan Iman itu ibarat air bah tetapi selalu menenangkan hati pemiliknya.

Kebenaran ilmu adalah "kebenaran akal", sedangkan kebenaran iman adalah "kebenaran wahyu". Peradaban ‘akal’ dimulai dengan karya Newton (1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel (1770-1831). Peradaban ‘Iman’ lahir dengan kehadiran Al-Quran, dan Astaghfirullah kalau menunjuk masa akhirnya. Sejak dini Al-Quran sudah memadukan usaha dan pertolongan Allah, akal dan iman, serta pikir dan zikir. Akal tanpa kalbu menjadikan manusia seperti robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti setan.

Akal dan Iman adalah dua hal yang tak sama, namun bersama Akal dan Ilmu memanusiakan manusia dan menghidupkan hidup. Seandainya Anda hanya diberi satu pilihan antara Ilmu atau Iman, apa yang Anda akan pilih?

6 comments:

  1. salam sejahtera selalu buat kita semua di dunia ini dan insya Allah di akhirat kelak, amiin.

    kembali seorang hamba sahaya yang dungu ini memohon diri untuk sedikit memberi tanggapan atas tulisan saudara, dan jika mungkin selanjutnya banyak kekurangan maka mohon dimaafkan!

    Iman dan akal itu ibarat 2 sisi mata uang logam, hulu dan hilir dan juga akar dan batang yang tak mungkin disatukan dan mustahil untuk dipisahkan.
    pada mulanya kita pernah atau mungkin sering mendengar kisah tentang nabiullah Ibrahim a.s. yang tidak pernah henti untuk mencari kebenaran Tuhan melalui keajaiban-keajaiban alam di sekitarnya, saat melihat bulan muncul di malam hari beliau berkata inilah tuhanku yang mampu menerangi bumi di malam yang gelap, setelah keesokan harinya, bulan itu menghilang dan berganti teriknya matahari, kemudian beliau berkata inilah Tuhan-ku, dia lebih besar dan lebih terang namun kemudian beliau sangsi karena ternyata sesaat setelah siang berganti malam matahari tersebut hilang dan seterusnya dan seterusnya. Hal serupa pernah dilakukan oleh seorang filsuf yunani kuno Plato yang coba mencari kebenaran Tuhan melalui teori positif-negatif yang bermakna bahwa jika ada kiri maka kanan ada, jika ada atas maka bawahpun ada, jika alam ini ada maka tentu ada yang menciptakannya.

    dalam hal ini kami tidak mencoba menyatukan persepsi 'akal dan 'iman' namun sedikit menguraikan titik temu di antara keduanya.
    sepanjang umur kita, pernahkah kita terpikir apakah iman (dalam hal ini berupa agama) yang selama ini kita anut (ikuti) telah benar kita meyakini akan kebenarannya? dalam hal ini kami terkadang berpikir bahwa sekitar 60% umat muslim di dunia ini memeluk agama Islam adalah karena mengikuti kepercayaan orangtua mereka, bukan karena meyakini kebenarannya.
    Segelintir orang di muka bumi ini yang pernah ada tidak butuh penalaran logika untuk meyakini kebenaran adanya Tuhan yang satu yaitu Allah dan kebenaran risalah yang disebarkan oleh Nabiullah Muhammad saw. terkhusus mereka kaum kerabat dekat beliau seperti (Khalifah Abu bakar, Umar, Ustman, Ali, Khadijah, Aisyah dll). lantas bagaimana dengan yang lain termasuk kita? disinilah peran logika akal untuk mencari dan menemukan apa sebenarnya iman itu, bahkan mereka yang diberi hidayah oleh Allah pun masih membutuhkan proses penalaran logika atas kebenaran iman.

    itulah alasan mengapa tidak semua yang berakal itu beriman tetapi sudah tentu yang beriman pasti berakal.

    selanjutnya saya coba paparkan sabda Nabiullah Muhammad saw; "man izdaada 'ilman wa lam yazdad hudan lam yazdad minallahi illa bu'dan". "Barangsiapa yang bertambah ilmunya namun tidak bertambah petunjuk (iman) baginya maka iya tidak mendapatkan apa-apa kecuali makin jauh dari Allah".

    sekali lagi ini hanyalah celoteh camar yang mungkin tidak begitu menyentuh potik pembahasan dan mempunyai banyak sekali kekurangan, sehingga mohon maaf atasnya.

    salam..

    Mustafa "Ghazali" Ghazlan Beck

    ReplyDelete
  2. Pertama saya harus menghaturkan beribu penghargaan atas kejujuran Anda pada pembukaan komentar Anda. Saya pada umumnya setuju atas celoteh camar Anda namun saya juga sedikit ingin menambahkan bahwasanya titik temu antara Akal dan Iman itu berada pada satu titik dimana Akal tidak lagi mampu memberikan hujja' atas pembenaran Iman. Akal tak mampu lagi memberikan alasan logis dan ilmiah atas eksistensi Iman. Syukurnya kata orang 'menunjuk gunung itu lebih memuaskan ketimbang berusaha merangkul gunung dengan kedua tangan'. Itulah ibarat orang menggambarkan keberadaan akal terhadap Iman selama ini.

    ReplyDelete
  3. sebelumnya saya ucapkan banyak terimakasih atas tanggapan saudara untuk komentar saya.

    saya hampir lupa menjawab pertanyaan sdr. pada paragraf terakhir tulisan saudara, kalau diberi satu pilihan anda akan memilih ilmu atau iman?.
    awalnya saya bingung mau jawab apa, mengingat pertanyaan saudara tidak jelas konotasinya sehingga saya berfikir untuk tidak menjawab namun memberi tanggapan saja.
    kalau harus memilih, anda akan mengambil ayam betina sebagai piaraan dan meninggalkan yang jantan atau mengambil yang jantan untuk dijadikan piaraan dan meninggalkan yang betina atau ameminta untuk diberikan keduanya??

    ReplyDelete
  4. Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

    With humble , kindly I'd like to salute to both of you for all the bright perspective you brought up here.
    Hopefully those will become a twinkle upon the ceiling of dark chamber. be the candle hanging on the wall along the alley in dimmer.give an extention to the sight gazing through to the haze toward unlimited horizon.
    Bring down a bless like rain pouring down to arid. 5 thumb up for you two.
    However,after all worthy you have there.. I've noticed there are some of irrelevant points here and there which I'm going to cover shortly. especially for Mr.Melati eL-Hamra Writing. note that these might sounds a bit harsh in a way but actually could be a constructive input in the other way.
    First of all I've spotted the first two words (salam sejahtra)in the prologue doesn't seems to be a reflection of Islam which is overall being the base of the perspective on through his opinion .It is Immensely opposed to Islam's way of giving a greet instead. Refer to the fact that Islam strictly taught that giving a proper greet in a way of Islam among Muslims is compulsory as well as answering the greet is. This issues ironically imposed the religious value that sticking along his precious writing. And this is become really crucial point since so far Islam has always been the spot light towards the topic herein.
    Secondly for Mr.uri_dj.. In his writing, he assertively stated that "minded one is not always being faithful, but faithful one is always being minded".
    and then he came up with abrasive question wich later on became the top of icing of the whole piece of cake in his writing.
    but before i go any further let me firstly correct the question he made("mengapa yang berakal itu belum tentu beriman?" this was the question supposed to be, wasn't it?) "why minded one is not always being faithful?" ... What I can see here he was using a terminologies kind of approaches ('mind' and 'faith')to comprehend both being minded and being faithful were essentially came from different substance which is eventually would lead to the answer of the questions that he brought up earlier.
    But then at the same it has just popped up another question as a contradiction that hasn't been covered in his writing before. "why is faithful one always being minded ?"( mengapa yang beriman sudah tentu berakal? )isn't it a question as well or didn't he aware of this?. the fact that the substance of mind and faith were different, might lead to a denial toward the statement " Yang beriman sudah tentu berakal ". and then all seems to be vague again.

    ReplyDelete
  5. these all like how we see a "junction". the thing will be determined by which perspective are we using through to see it. If two peoples were starting to walk separately form different path and they had to keep moving forward then later on they met each other at the "junction" at the same time, they would have to gone along together toward the "same direction". but inversely..if the two peoples were starting to walk side by side form same path and they had to keep moving forward then later on they met at the "junction" at the same time as well, then it wouldn't has to be sure yet whether they will keep going to the same direction or they will split to different direction.."junction" can be a "meet point"(titik temu)that has always been mentioned above by both Mr.uri_dj and Mr.Melati eL-Hamra. And "junction" can be a "split point" in contrary. To be straight forward,this "junction" analogies was meant to emphasized how the perspective would determined which direction and how the two different things in substance will go,... however, this logic doesn't seems to be fit perfectly to subject matter of this topic..but it might lead to the other analogies says that "mind and faith are like two sides of coin that can never meet each other" this was mentioned by Mr.Melati eL-Hamra earlier. but then in addition I'd like bring up the logic that both sides of coins can never meet incase it were flipped, but actually those both sides will always go along together to the same direction if the coin were rolling through with balance being maintained from its both side. after all, based on these logic I can finally meet a conclusion that Instead of started to go with the statement " minded one is not always being faithful, but faithful one is always being minded" this topic can potentially go even more interesting and meaningful yet will give a plenty of benefits if it was started from question "how to maintain the balance between mind and faith?".This supposed to the question expected to be...then let's just pop the hood up.

    last but not least, I'd like to proclaim that I am not really a faithful one nor I am wise minded one. but I do have my faith and I do have my mind wide open.
    so any feedback from you all are very welcome.

    wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

    ReplyDelete
  6. firstly, I want to offer many thanks and words of welcome to kemal82 for his feedback on my comments on this writing. and I would like to say “welcome to the world of full of insight”.

    there are some things that need to be considered for comments and response in this record.

    first is about to greet. The word of "Salam Sejahtera" is simply not a phrase that describes a person thinking particularly describing the person's beliefs. Islamic greeting “Assalamu Alaikum etc. has a meaning of prayer to plead for the salvation of our brothers are being greeted, so in the Malay language defined as "Salam sejahtera".

    Second, I try here to clarify the precise meaning of the analogy of the two sides of the coin to avoid errors of interpretation which we did not expect. The meaning of the phrase of "two sides of the coin can not be together but it was impossible to separate", well it seems to me very clearly. I believe, that the two sides of the coin will always go hand in hand when he rolled like a wheel. but the sentence has a deeper meaning than just that. Do we ever think how to unite the two sides of the coin? or perhaps try to separate the two? then what will happen actually? Surely it would be damaged. That is the analogy of what I'm trying to point out in my previous comment about the conception of “Iman dan Akal”.

    but once again, I try to offer words of thanks as much to kemal82 who has given a feedback on my comments.

    Hope this explanation could be conditioning on when we begin to fatigue, the silk is rubbed on the forehead of our grief, and a moment of solace in our grief stricken that very, very heavy.

    Slave of Allah
    The fool and the sinner

    wassalamu alaikum wr. wb.

    ReplyDelete