Thursday, December 31, 2009
Wednesday, December 30, 2009
Yesterday is Gone
Tuesday, December 29, 2009
Sunday, December 27, 2009
Saturday, December 26, 2009
Friday, December 25, 2009
Be Gentle to the Earth
Beberapa riset yang dilakukan di US menunjukkan bahwa terdapat 500 juta sampai satu trilyun plastik yg dikonsumsi pertahun, dan ironisnya kurang dari 1% saja dari material berbahan plastik ini yang didaur ulang, perlu di ingat bahwa mendaur ulang material berbahan plastik lebih mahal ketimbang membuatnya.
Untuk mendaur ulang 1 ton kantongan plastik biayanya akan menelan sekitar $ 4,000 (Rp. 40.000.000 asumsi 10.000 perdolar), sedangkan hasil daur ulangnyakalau terjual hanya akan mencapai $ 32 (Rp. 320.000). Bayangkan kerugian dari sisi ekonominya.
Kebanyakan materil plastik ini terbuang/terbawa ke laut yang mengakibatkan rusaknya habitat laut dan matinya beberapa spesies akibat terkontaminasi. Malapetaka dari sisi lingkungan. Nah apa yang bisa dilakukan?
Salah satu cara yang paling sederhana adalah dengan mengganti kantong plastik belanjaan kita dengan tas yang terbuat dari kain (cloth bags) atau sejenisnya. Satu tas kain bisa-bisa menghemat 6 kantong plastik perminggu artinya 24 kantong plastik perbulan sama dengan 288 kantongan per tahun setara dengan 22.176 per rata2 umur manusia skrg. Nah kalau 1 sj dari 5 orang yang melakukan hal ini berarti kita bisa menghemat 1.330.560.000.000 kantong plastik sepanjang umur kita. Dibeberapa negara skrg seperti Bangladesh, China, Irlandia, Rwanda, dan Beberapa negara lainnya sudah melarang penggunaan kantong berbahan plastik ini. Kota San Fransisco, menjadi kota yang pertama di Amerika Serikat yang melarang penggunaan kantongan plastik, bahkan kedepan ada kebijakan yang memberlakukanpajak bagi siapa saja yang menggunakan kantongan plastik pada saat berbelanja.
Mudah2an ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi pemimpin bangsa kedepan untuk sensitif terhadap isu-isu kecil (kelihatannya) tapi luar biasadampaknya bagi kelangsungan hidup mendatang. And please be gentle to Earth!!
Jalan Damai Israel-Palestina
Konflik berkepanjangan Palestina dan Israel kembali memasuki babak baru. Laporan Richard Goldstone, perwakilan Hak asasi PBB, yang mengumpulkan laporan yang intinya membuka tabir kejahatan perang yang dilakukan oleh Isreal dan Hamas selama 3 minggu pada bulan Desember dan Januari lalu. Serangan ini berakhir dengan luka mendalam dipihak palestina, 1.419 dari total korban tersebut terdapat 1.167 "non combatants". Dipihak militer Israel mengeluarkan jumlah korban yang berbeda dengan 1.166 korban dan 60% dari mereka adalah pelaku teror. Sementara dipihak Israel hanya 11 korban.
Untuk memperkuat hasil laporan tersebut, 25 negara telah mengambil keputusan untuk mendukung sepenuhnya goldstone report ini, 6 negara lainnya menolak laporan tersebut, termasuk US, dan 11 abstain dan 5 lainnya menolak untuk mengambil keputusan. Apa yang istimewa dari laporan ini bagi saya adalah pengakuan dunia international terhadap kejahatan Israel, ini pertama kali dunia berkata 'tidak' terhadap segala tindak tanduk 'Israeli & Jews'. Namun tentu saja ini bukan pertanda damai sudah diambang pintu. Jalan masih sangat panjang bagi Palestina untuk menggapai keadilan. Sebagai masyarakat Indonesia, yang mayoritas muslim hendaknya pembelaan kita terhadap rakyat Palestina bukan karena sentimen agama melainkan pembelaan yang bersumber pada keadilan bukankah damai itu digapai kalau keadilan sudah ditegakkan. No Justice, No Peace! Dan perlu disadari Konflik ini bukanlah konflik agama.
Tentu saja laporan ini medapat perlawanan dari pihak Israel dengan mengklaim bahwa laporan ini berat sebelah, dan akan merusak proses damai dari konflik yang tak kunjung padam ini. Namun tentu kita harus bertanya proses damai yang Bangsa Israel maksudkan disini yang mana? Tidak ada proses damai karena memang Banga Israel yang bebal ini tidak ingin proses damai itu terjadi. Dan selama Bangsa Israel menduduki tanah Palestina maka damai itu tidak akan pernah ada, karena rakyat Palestina akan terus berjuang untuk menuntut keadilan.
Bagi mereka Israel ini adalah ‘Alien’ yang tidak memiliki hak hidup di tanah palestina. Lebih jauh Israel menuding PBB, bahwa lembaga ini telah mendukung teroris, dan bertindak nonkooperatif terhadap negara yang melindungi masyarakatnya dari serangan teroris.
Goldstone menjawab tudingan Israel ini dengan kepala dingin, dan meminta agar pihak Israel membaca laporannya secara seksama kemudian meminta mereka untuk melakukan eksaminasi terhadap laporan tersebut sebelum melontarkan tudingan yang nonsense. Laporan ini sama sekali tidak berpihak kepada siapa-siapa, laporan ini bersandar pada kenyataan lapangan dan dilakukan secara kredibel dan bertanggung jawab oleh mereka yang sama sekali tidak memiliki interest, melainkan keadilan sebagai tujuan akhir. Bukankah kedua pihak yang terlibat sama-sama mendapatkan porsi laporan masing-masing? Tudingan bahwa PBB bertindak nonkooperatif terhadap Israel tentu sangat picik dan bodoh karena PBB tidak pernah mengharamkan suatu negara untuk berjuang membela negaranya dari tindakan teroris, yang menjadi persoalan kalau negara yang bersangkutan mengatasnamakan “pembelaan” dengan melakukan kejahatan perang seperti pembantaian masyarakat ‘non combatant’. Dari 1.419 korban dipihak Palestina, pada bulan Desember dan Januari, hanya 252 dari mereka ‘combatant’ selainnya adalah masyarakat sipil. Ini saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa Israel memang melakukan tindakan kejahatan.
Tawaran solusi damai pun berdatangan, bagi sebagian orang solusi damainya adalah ‘one state solution’ artinya bangsa Israel yang didominasi oleh yahudi co-exist dengan warga palestina dan lainnya tetap pada pendirian ‘two-state solution’
Thursday, December 24, 2009
Renungan Ramadhan
Wednesday, June 10, 2009
Saturday, June 6, 2009
Let me not to the marriage of true mindsAdmit impediments. Love is not loveWhich alters when it alteration finds,Or bends with the remover to remove:O no! it is an ever-fixed markThat looks on tempests and is never shaken;It is the star to every wandering bark,Whose worth's unknown, although his height be taken.Love's not Time's fool, though rosy lips and cheeksWithin his bending sickle's compass come:Love alters not with his brief hours and weeks,But bears it out even to the edge of doom.If this be error and upon me proved,I never writ, nor no man ever loved.William Shakespeare(1564 - 1616)
Then, with a gentle look you took my hand.
As our lives engaged,
you lit my life and I held both your hands.
Now that decades have passed,
ours souls have indeed become one.
How fortunate we are
that we have found the love so true
that everyone dreams about.
- Laura Veronica Merodio -
Wednesday, June 3, 2009
Ibuku sayang, Ibuku malang..!!
Sebuah kejadian yang patut mendapat tempat untuk direnungkan bersama. Saya sangat terkejut tatkala membaca kemudian melihat berita seorang ibu yang masuk ke bui gara-gara menulis emai keprihatinannya terhadap sebuah rumah sakit berkelas internasional. Berawal dari email yang dikirim oleh seorang Ibu bernama Prita ke 10 temannya, email tersebut berisikan kekesalannya atas pelayanan yang diberikan oleh sebuah rumah sakit swasta ditangerang yang tak dinyanah kemudian beredar secara luas ke Mailing list. Sehingga Si Ibu ini dituduh mencemarkan nama baik rumah sakit yang lumayan berkelas ini. Dia dijerat Pasal 27 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Yang pada awalnya di BAP dengan oleh Pasal 310-311 kemudian oleh kejaksaan dia kembali dijerat dengan Pasal 27 UU no. 11 tentang ITE dengan hukuman maksimal 6 tahun dan denda 1 Milyar. Memang referensi hukum mengatakan bahwa UU ini ada dan berlaku mengikat, dan olehnya itu saya kira perlu dikaji ulang. Bunyinya: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Ini saya kira akan menjadi momok baru dalam hal penggunaan internet media elektronika lainnya karena bernada multi interpretasi. Kalau memperhatikan kasus Ibu Prita seharusnya yang dikenakan adalah semua penyebar, para moderator milis, bahkan individu yang memforward pesan ini harus dijerat dengan pasal yang sama. Tapi buktinya tidak demikian. Selain itu pasal tersebut tidak memberikan pembenaran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pembelaan kepentingan umum. Bukankah Ibu ini berbicara untuk mengingatkan waspada terhadap pelayanan yang sifatnya money-oriented?
Saya tidak habis pikir dijaman demokrasi sekarang ini dimana kebebasan beropini dan kemerdekaan berpendapat selalu dijunjung tinggi, ternyata ada juga yang ‘menghargai’ kebebasan ini dengan hukuman ‘hotel prodea’ ala penjahat.
Kasus Ibu prita yang ditahan selama tiga pekan ini boleh menjadi tonggak pembelengguan hak-hak berdemokrasi di Indonesia. Hak rakyat untuk menyampaikan keluhan ternyata mendapat ancaman oleh penegak hukum. Penjara Ibu Prita adalah penjara terhadap kebebasan berpendapat. Keprihatinan terhadap kasus ini seperti yang diperlihatkan oleh beberapa pihak, harusnya menjadi keprihatinan kita semua. Penggunaan pasal pidana terhadap kasus prita ini membungkam kebebasan berpendapat yang sudah sekian lama kita perjuangkan. Dari kasus di atas terbersit pertanyaan: Apakah lembaga publik tidak lagi mau menampung kritikan/keluhan? Atau Apakah kita sudah sangat bebas dalam menyampaikan kritikan? Untuk siapa hukum ini dibuat??
Wassalam
Saturday, May 30, 2009
Ilusi Negara Islam (INI)
Penerbitan Buku/ebook Ilusi Negara Islam, menunai banyak kontroversi dikalangan ummat islam dan kalangan intelektual lainnya refleksi dari perjuangan panjang organisasi-organisasi islam dalam melakukan pergerakan menuju perubahan ideologi di bumi Nusantara. Organisasi transnasional yang terdiri dari organisasi-organisasi islam garis keras yang berusaha merapatkan barisan untuk cita-cita mulia versi mereka, lambat laun “menyusup” kedalam barisan oraganisasi-organisasi Islam nasionalis.
Inilah bedanya organisasi politik dengan organisasi ummat, kalau organisasi politik selalu merapatkan barisan untuk sebuah kedudukan dan ambisi pribadi, organisasi ummat merapatkan barisan untuk kemaslahatan ummat seluruhnya. Jangan sampai partai politik yang berpayungkan islam (katanya sih) lebih merapatkan barisan untuk sebuah posisi/jabatan dan mengikis jumlah barisan ummat di mesjid-mesjid dan surau-surau.
Emang benar sih pendapat yang mengatakan ada dua sisi yang selalu berseberangan dalam perjalan sejarah ummat ‘al-nafs al-muthmainnah’ dengan ‘al-nafs al-lawwâmah’. Golongan pertama adalah mereka yang mampu menjinakkan hawa nafsunya sehingga selalu memberi manfaat kepada siapapun sedangkan kelompok berikutnya adalah mereka yang mengedepankan hawa nafsunya sehingga menjadi pembuat onar dan biang keresahan sosial. Semoga saja kedepan tidak terjadi apa yang menjadi ketakutan para ulama al-haqq bi lâ nizhâmin qad yaghlib al-bâthil bi nizhâmin (kebenaran yang tidak terorganisasi bisa dikalahkan kebatilan yang terorganisasi).
Dari buku ini tersirat pesan bahwa kekuatan eksternal bukan satu-satunya kekuatan yang patut diwaspadai ada “MUSUH dalam SELIMUT” yang menjadi ancaman besar Islam dan NKRI kedepan. Sejarah telah mencatat beberapa pergerakan yang berusaha merubah wajah Negara Kesatuan ini dengan payung Islam versi mereka baik dengan senjata ataupun dengan perubahan konstitusi, namun selalu saja ada prajurit-prajurit NKRI yang membela Nusantara. Sekarang prajurit-prajurit ini hadir dalam bentuk organisasi islam moderat (NU dan Muhammadiyah) yang menyeru persatuan dalam keberagaman (many, yet one). Organisasi-organisasi transnasional yang diwakili oleh organisasi-organisasi islam haluan keras lambat laun “menyusup” kedalam barisan ormas-ormas Islam nasionalis.
Dan semoga saja kita temasuk mereka yang kembali kepada-Nya dengan jiwa-jiwa yang tenang bukan jiwa yang resah penebar benih-benih konflik yang meresahkan. Dari buku ini tersirat pesan bagi kita semua utamanya ummat islam untuk selalu “waspada” akan pergerakan organisasi ini namun pada saat yang sama kita harus “waspada” akan maksud dan tujuan dibalik penyebaran buku ini. Simpanlah pujian terhadap buku ini, karena sesuatu yang tampak bermanfaat mungkin saja berbahaya. Namun buanglah cemoohan karena boleh jadi yang kelihatan berbahaya bisa saja bermanfaat. Wassalam...
Buku Ilusi Negara Islam ini dapat didownload disini:
http://www.bhinnekatunggalika.org/galeri.html
Education and Conflict
Conflict that happens over the time affects the life of the people and land they lived in. Many lives are taken away, regardless to their age and sex. One of the impacts of the conflict toward people is the mass destruction of educational infrastructures. Millions of children are prevented from attending schools. The impacts should be able to help us understanding how this uninvited guest damages the future life of our children. To help youth counteract despair of about large scale destruction in the communities caused by the conflict, peace educators draw upon peace theory to teach them the skills to construct a peaceful world and the motivation to live their lives based upon nonviolent principles.
In 2004, it is estimated that half of the 104 million children not attending primary school live in countries in, or recovering from conflict (UNESCO, 2004)[1]. UNESCO therefore regards the conflicts and their consequences as the major obstacle in achieving the EFA ‘Education for All’ objectives by 2015 (UNESCO, 2000).[2] Realizing the importance of the educational institution towards the conflict, Tomlinson, K and Benefield suggest that education is increasingly seen to have a role to play in mitigating and/or exacerbating conflict.[3] Education can provide a protective function for children in conflict or post-conflict situations (Nicolai and Triplehorn, 2003)[4] as it plays crucial role in children care (Fletcher-Campbell et al., 2003).[5] The UNESCO Commission for Education for the 21st Century also believed in the fundamentally positive power of education by regarding education as one of the most important means of advancing the development of the human race in as enhanced manner and with greater harmony. With its help poverty, exclusion, ignorance, repression, and wars may be reduced” (German UNESCO Commission 1997).[6]
[1]Tawil, S. and Harley, A. (Eda) (2004). Education, Conflict and Social Cohesion. Geneva: UNESCO International Bureau of Education.
[2]UNITED NATIONS EDUCATIONAL, SCIENTIFIC AND CULTURAL ORGANIZATION (2000). TheDakar Framework for Action. Education for All: Meeting our Collective Commitments [online].
Available at: http://unesdoc.unesco.org/images/001211/121147e.pdf [26 Januari, 2005].
[3]Tomlinson, K and Benefield, P (2005). Education and Conflict. Research and Research Possibilities.
Available at: http://www.nfer.ac.uk/publications/pdfs/downloadable/ECOreport.pdf
[4]Nicolai, S. and Triplehorn, C (2003). The Role of Education in Protecting Children in Conflict (Humanitarian Practice Network Paper 42). London: Overseas Development Institue.
[5]Fletcher-Champbell, F., Archer, T. and Tomlinson, K. (2003). The Role of the Schoole in Supporting the Education of Children in Public Care (DfES Research Report 498). London: DfES.
[6]UNESCO. (1998). From War to Peace in History Books. In UNESCO Education news, No. 11, December 1997 – February 1998. UNCESCO, Paris
[7]World Bank (2002b): Lifelong Learning in the Global Knowledge Economy. Challenges for Developing Countries (Draft). Washington, D.C.
[8]Bush and Salterelli, (2000). The Two Faces of Education in Ethnic Conflict: Towards a Peacebuilding Education for Children. Florence: UNICEF Innocenti Research Centre.
Friday, May 29, 2009
Pesan Cinta
Monday, May 25, 2009
Peace Education in Indonesia
Aceh is located on the northern tip of the Indonesian island of Sumatra. Aceh is economically and strategically important to Indonesia. Aceh’s economic value lies in its source of oil and gas deposits, primarily from the Exxon-Mobil-run Arun LNG plant just offshore from North Aceh (Pasai). In 1997 Aceh provided 17 per cent of Indonesia’s almost US$12 billion in oil and gas export revenue, making Arun Indonesia’s fourth largest export earner. Aceh also has extensive mining, forestry and plantation agriculture, and potential as a major centre of trade.
Aceh strategic value is in its bordering the province of North Sumatra, and its position at the northern end of the Malacca Straights, which is one of the world’s busiest waterways and through which travels around a quarter of the world’s oil, two-thirds of liquid natural gas and up to a third of all other trade. Aceh has a distinctive majority language and culture, including a widely held devout adherence to Sunni Islam. Aceh was one of the first regions to be converted to Islam (from the 13th century or even before) and the Kingdom of Aceh had a long history of commercial and cultural links with the Islamic world of the Middle East and India. Today it retains a deeper attachment to Islamic culture than most parts of Indonesia.
After more than 25 years of violent conflict in the regions, both of the warring parties the GAM (Free Aceh Movement) and the Indonesian government decided to start the peace talks facilitated by a Finland-based NGO, the Crisis Management Initiative, and led by former Finnish President Martti Ahtisaari. Earlier efforts of the peace talks had failed, but for a number of reasons, including the tsunami, peace prevailed in 2005.
…write your comment(s) to subscribe more……>>>
Advocacy Campaign Paper
LEGAL PAPERS FOR IDPs LAND OWNERSHIP ADVOCACY
1. Background of Advocacy
During the conflict in Poso district, most of the Christians in Poso town, Poso Pesisir and some suburbs ran away to Tentena areas, and they were living there as IDPs, at the same time due to the tensions most of the Muslims in Tentena ran away to Poso town and suburbs and lived there as IDPs. So, the Christians (Native and IDPs) captured Muslims’ land in Tentena and the same happened to the Lands of the Christians in Poso town and suburbs.
Both the parties claim that the lands of each other are not captured and could be returned, but no body is moving with actions! This is because no one has legal papers for their lands in both the sides, the government for a long time has been in difficult situation regarding this issue, but during the first quarter of the year the government has taken some small initiative, yet government too is in dilemma when it comes to providing legal documents and dragging the issue some more.
As the government’s ignorance about the existence of IDPs in Poso and Tentena by declaring that there are no more people with status as IDPs, I will work with my organization to conduct an advocacy project. There are two reasons why I need to involve my organization dealing with this issue; firstly, I realized how importance this issue to the local people as well as my organization peace campaign. Secondly, I realized that an individual working alone without a group or organization is unlikely to make a significant impact on any social or political issue.
In the contrary to the government’s declaration, there are about more than 200 hundreds of IDPs spreading out in Tentena and some others in Poso Kota. This is a clear message for us that the government especially the local government is ignoring the IDPs and indeed if this issue is not addressed, then surely this will further worsen the situation and even becomes the new sources of conflict.
As a consequence, most of the IDPs have difficulty in dealing with their own property whenever they went back to their original place. One of the problems they have especially in Poso and Tentena is getting their land back. Most of the time other local people have used the land, and when they claim the land they cannot make it because they have no proof of it. This then, creates another tension and if it does not resolve it can create another conflict. In addition to this, the land dispute-related issue usually involves the land left by IDPs as well as the land occupied by IDPs. Other than the lack of traditional land borders, the lack of clear and written record on land and ownership is something that encourages land dispute.
Many little people doing many little things in many little places can change the face of the world!
…write your comment(s) to subscribe more……>>>
Pembangunan sensitif konflik
Konflik telah menciptakan berbagai malapetaka kemanusiaan, jumlah korban dan kerugian materil serta keterpurukan ekonomi selalu menjadi barometer betapa konflik telah merusak sendi-sendi kehidupan umat manusia diberbagai belahan dunia. Intervensi pun dilakukan oleh dunia international sebagai wujud dari tanggung jawab moral masyarakat international terhadap luka serta duka mendalam yang dialami oleh saudara mereka belahan dunia yang lain.
Konflik merusak kehidupan masyarakat dengan memusnahkan institusi politik, melululantahkan infrastruktur, melumpuhkan sumber daya, dan mengganggu jaringan bisnis dan interaksi sosial. Pembangunan pun dilakukan sebagai respon atas terhentinya denyut nadi pertumbuhan ekonomi sebagai akibat dari ‘tamu tak diundang ini’.
Pembangunan memiliki tujuan akhir yang mulia yaitu mengurangi kemiskinan, namun niat baik ini terhalang oleh kerusakan akibat konflik kekerasan sehingga mustahil menjangkau tujuan mulia ini tanpa menempatkan isu konflik sebagai agenda pertama dan utama.
Jadi pembangunan tidak hanya dipengaruhi oleh konflik, namun disaat yang bersamaan pembangunan juga memiliki dampak terhadap konflik. Berpijak dari pemikiran inilah mengapa isu konflik harus diletakkan sebagai batu pertama pembangunan ekonomi daerah postkonflik.
Apa itu pembangunan yang sensitif konflik?
Ada beberapa makna yang terkandung di dalam pembangunan sensitif konflik, diantaranya adalah:
- Mengerti pada konteks mana pembangunan dilakukan. Untuk mengerti konteks konflik maka selayaknya organisasi donor melakukan analisa konflik dan mengupdate analisa tersebut sepanjang waktu secara teratur.
- Mengetahui interkasi antara intervensi pembangunan yang dijalankan dengan konteks yang ada. Dalam tingkatan ini organisasi pendonor harus mampu menghubungkan tindakan intervensi yang diambil dengan analisa konflik kedalam perencanaan, implementasi, monitoring, dan evalusi aktifivitas-aktivitasnya (proramme cycle).
- Untuk menghindari dampak-dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif yang ditimbulkan oleh pembangunan di daerah postkonflik organisasi pendonor harus mengubah aktivitas-aktivitasnya, partner kerja dilapangan, atau cara mereka bekerja dilapangan.
Pendekatan sensitif konflik ini memang membutuhkan analisa konflik yang dilakukan secara teratur. Tidak mengherankan jadinya kalau didalam beberapa referensi menyebutkan bahwa kunci dari pembangunan sensitif konflik terletak pada analisa konfliknya. Tetapi juga perlu diingat bahwa analisa konflik bukanlah ‘the whole story’, dari pendekatan sensitif konflik ini. Apa yang terjadi di Kenya selayaknya menjadi pelajaran yang berharga bahwa analisa konflik bukan satu-satunya faktor penentu kebijakan pembangunan di daerah postkonflik. Kalau di suatu daerah sudah dianggap stabil maka tidak terlalu krusial kiranya untuk melakukan analisa konflik.
‘There’s no long-term security without development, there is no development without security,” Kofi Annan, 2006
Saturday, May 23, 2009
Uniquely Peace Education
Since every state and nation have completely different kinds of educational systems, thus implementing PE will vary in terms of styles and emphasis. A review of the programs of education for peace in different states indicates that they differ considerably in terms of ideology, objectives, emphasis, curricula, and practices (Bjerstedt, 1998). For example, in Australia, peace education focuses on challenging ethnocentrism, cultural chauvinism, and violence, on the other hand, and promoting cultural diversity, nuclear disarmament, and conflict resolution on the other
In Indonesia especially in Aceh the emphasis of PE is given to inequality, violence, and a highly traumatized population with separatist movement. Despite of the difference emphasis and context mentioned above, there is something in common can be found in common in relation to the objective. All of the objectives mentioned above, fostering changes that will make the world a better, more humane place, as consequences the PE should be able to encourage pupils and teachers to voice changes for better world. Salomon, et al (2002) stated: PE mobilizes pupils and teachers to take part in a campaign for change. They are to raise their banner toward an alternative vision of society within the aim of counteracting the beliefs, attitudes, and actions that contradicts the objectives of peace education.