Monday, December 14, 2015
Thursday, April 19, 2012
Pendidikan damai: Intervensi Konflik dari Bilik Kelas Sekolah
Konflik adalah sunnatullah kehidupan, olehnya itu sungguh mustahil bagi manusia untuk menghapuskannya. Ini mengandung makna bahwa konflik adalah realitas dan keberadaannya sudah ada sejak manusia mengenal kehidupan. Olehnya itu, pertanyaan yang paling krusial adalah bagaimana mentransformasi konflik yang ada menjadi sebuah energi perubahan dan pembangunan yang baru. Konflik dapat terjadi dimanapun dan kapanpun, sadar atau tidak, kehadirannya selalu mengejutkan bermula dari masalah sederhana menjadi sesuatu yang kompleks.
Di Indonesia, siswa tidak hanya menjadi obyek kekerasan bahwa mereka juga biasanya menjadi subyek pelaku kekerasan. Ironisnya, sebagian dari kita menganggap bahwa kekerasan dan ketidakadilan adalah kenyataan hidup yang harus kita terima begitu saja. Inilah yang selama ini menutup mata dan hati kita, bahwa ada pilihan lain selain kekerasan. Ada pilihan damai terhadap konflik, demikian juga kekerasan memiliki alternatif dan pilihan lain. Pendidikan damai hadir mengisi pemikiran dan hati peserta didik dengan sikap menghormati diri sendiri dan orang lain, toleransi, empati, jujur, disiplin, keadilan, dan pemerataan.
Peranan media yang gencar menyuguhkan tayangan perang dan kekerasan yang terjadi di belahan dunia, membuat kita semakin tuli akan adanya kondisi lain. Ini diperparah lagi dengan diterbitkannya buku-buku sejarah yang lebih mengagung-agungkan peperangan sebagai satu-satunya solusi terhadap masalah dunia. Tidak sedikit siswa menjadi bangga terhadap kekuatan perang dan angkatan bersenjata negara lain dibanding membaca buku-buku sejarah penggiat perdamain dan anti kekerasan seperti Marthen Luther King Jr. atau Mahatma Gandhi. Pendidikan damai bertujuan untuk membantu siswa melihat bahwa kita punya pilihan lain untuk hidup harmonis dengan sesama manusia dan seisi planet.
Apakah ada hubungan antara konflik kekerasan terhadap prestasi siswa? Jawaban pertanyaan ini terangkum dalam berbagai penelitian sebagai berikut: Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang selalu disuguhkan dengan kekerasan, akan mengembangkan emosi negatif, tingkah laku agresif, dan cenderung reaktif (Oshofsky, 1995). Mereka yang mengalami kekerasan sangat sulit dalam memecahkan permasalahan dan tidak menghargai diri sendiri dan orang lain (Lochman dan Dodge, 1994). Anak-anak yang menderita stress post-traumatik sangat sulit fokus terhadap pelajarannya (Singer et al. 1995). Jadi ada kaitan yang erat antara kekerasan yang dialami oleh anak dengan prestasi akademiknya.
Lebih lanjut, evaluasi terhadap program-program pendidikan damai yang dilakukan disekolah menunjukkan bahwa program tersebut berhasil menekan kekerasan di sekolah dan menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif (Olmeas, 1994; Sandy & Cochran, 2000; Coleman dan Deutsch, 2001). Oleh karena itu, pendidikan damai disekolah mampu memberikan dampak positif terhadap kecakapan siswa (Boding, Crawford, Schranf, 1994). Jadi dari sisi akademik, kekerasan telah menjadi momok terhadap pencapaian prestasi siswa.
Adam Curle (1971) dalam bukunya Making Peace, mengisyaratkan bahwa tatkala konfliknya sudah laten dan masyarakat tidak menyadari adanya ketidakseimbangan dalam segi kekuatan dan ketidakadilan dalam perlakuan. Maka pendidikan menjadi salah satu opsi terbaik sebagai satu bentuk intervensi. Peranan pendidikan dalam hal ini terutama sekali dialamatkan untuk menghapuskan pembiaran, meningkatkan kesadaran akan kesetaraan hak, dan dapat memutus mata rantai kekerasan yang terjadi. Dengan meningkatnya kesadaran akan kesetaraan hidup satu dengan yang lainnya, hal ini dapat melahirkan keinginan untuk mengubah situasi. Sekarang pendidikan semakin dirasakan peranannya di dalam memitigasi dan mencegah konflik. Pendidikan mampu memberikan proteksi terhadap anak di dalam situasi konflik dengan menciptakan tempat bagi anak untuk bermain dan berlajar (Nicolai & Triplehorn, 2003).
Sekolah menjadi tempat yang paling tepat mengobati trauma anak dan menggantikan memori-memori kelam dengan harapan-harapan baru. Merubah puing-puing kehancuran akibat konflik menjadi istana-istana impian masa depan anak. Hal ini tentu bukanlah sesuatu yang mudah semudah membalikkan telapak tangan, karena diperlukan proses panjang ‘duduk semeja’ dan berbicara dari hati ke hati. Pintu damai tidak terbuka dengan sendirinya melainkan dari adanya koordinasi, kerjasama oleh semua aktor dan kegiatan didalam semua tingkatan. Damai itu akan lebih strategis manakala sumberdaya, pelaku-pelaku, dan pendekatan yang diambil terkoordinasi dengan baik sehingga mencapai tujuan-tujuan yang diidamkan.
Menurut Ian Harris (1996) pendidikan damai sebagai salah satu bentuk intervensi adalah usaha pembelajaran yang dapat berkontribusi terhadap terbentuknya warga negara yang lebih baik. Pendidikan semacam ini adalah sebuah proses transformasi yang bermanfaat terhadap pengajaran nonviolence (tanpa kekerasan) sebagai salah satu alat penyelesaian konflik. Pendidikan damai menyediakan alernatif dengan mengajarkan akar penyebab terjadinya aksi kekerasan dalam waktu yang bersamaan memberikan pengetahuan tentang bagaimana mencegah aksi-aksi tersebut. Perdamaian adalah topik yang bisa diajarkan dalam berbagai mata pelajaran di sekolah misalnya: Pendidikan Agama (mengajarkan tentang perdamaian di setiap agama), sejarah (mempelajari contoh-contoh tindakan anti kekerasan dan pengembangan perdamaian), Goegrafi (mengatasi prasangka dan memperlihatkan hubungan antar sesama) dan Sastra (membaca dan menganalisa karya sastra tentang perdamaian).
Pendidikan damai juga memberdayakan siswa dengan skill, sikap, dan pengetahuan untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik. Skill-skill yang diajarkan adalah pemecahan masalah, mendengarkan, refleksi, kerjasama, sensitivitas moral, dan pernghargaan diri dan resolusi konflik. Inti pengajaran pendidikan damai adalah penekanan terhadap pemberdayaan siswa akan nilai-nilai dan hidup tanpa kekerasan (Brahm, 2006).
Pendidikan damai memiliki setidaknya 5 (lima) postulasi utama:
- Menjelaskan akar konflik kekerasan. Sebuah pesan jelas mengingatkan kita semua akan bahaya konflik kekerasan. Pendidikan damai dalam hal ini mengajarkan tentang ‘orang lain’ sebuah label “us and them” (kita dan mereka) untuk mendekonstruksi imej permusuhan satu dengan yang lain.
- Mengajarkan alternatif lain dari kekerasan. Pendidikan damai menawarkan strategi alternatif untuk memecahkan masalah konflik kekerasan yang dapat terjadi akibat pelabelan “us and them” pada poin satu.
- Menyesuaikan dengan kekerasan yang diintervensi. Dinamika pendidikan damai selalu berubah-ubah sesuai dengan akar kekerasan yang diintervensi.
- Prosesnya berjalan secara kontekstual. Pendidikan damai dalam teori dan prakteknya selalu mengedepankan norma-norma dan budaya masyarakat dimana konflik terjadi.
- Konflik itu ada dimana-dimana. Pendidikan damai tidaklah dapat menghapuskan konflik, namun memberi siswa pengetahuan bagaimana mentranformasi konflik yang ada menjadi energi yang lebih positif.
Perjalanan Pendidikan damai sangatlah dinamis dan berubah-ubah. Di Amerika pada awalnya pendidikan damai bertujuan untuk mencegah peran serta masyarakat Amerika dalam Perang Dunia I, sebuah misi yang jelas-jelas gagal. Tujuan pendidikan damai selanjutnya berubah yaitu mendidik masyarakat tentang hidup tanpa kekerasan sebagai alternatif terhadap kekerasan dan perang. Pada jaman sekarang pendidikan damai terutama sekali diarahkan tidak hanya untuk menghentikan kekerasan tetapi menciptakan di dalam benak siswa keinginan untuk belajar tentang nonviolence yang dapat menjadi dasar terciptanya masa depan yang adil dan berkelanjutan.
Salah satu model pendidikan damai di Sulawesi Tengah adalah pendidikan harmoni yang di gagas bersama-sama oleh Wahana Visi Indonesia bersama Dinas Pendidikan dan Pengajaran kota Palu, Universitas Tadulako, GKST, dan Muhammadiyah. Model pendidikan ini dibangun secara kontekstual dengan menggali nilai dan memperkuat kearifan lokal, baik nilai-nilai sosial budaya maupun kekayaan alam hayati, dengan tetap mendukung pencapaian standar kompetensi dasar yang telah ditetapkan. Hasil penggalian tersebut melahirkan 3 Harmoni, yaitu Harmoni Diri, Harmoni Sesama dan Harmoni Alam. Harmoni diri adalah harmoni terhadap diri sendiri, sebagai hasil dari olah rasa, hati nurani dan akal budi. Harmoni diri merupakan perwujudan dari hubungan manusia dengan Tuhan dan menjadi dasar bagi unsur harmoni yang lainnya. Harmoni Sesama adalah penghargaan, penerimaan dan keselarasan hubungan dengan sesama manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan Harmoni Alam adalah penghargaan, pemeliharaan dan keselarasan hidup dengan alam semesta, tempat di mana manusia hidup dan berkarya (Laporan penelitian Pendidikan Harmoni WVI, 2011).
Dalam bentuk informal pendidikan damai dapat diberikan dimanapun orang berkumpul untuk bekerja, atau pun bersantai. Sebagaimana di sekolah-sekolah formal pendidikan damai di lingkup informal menekankan pembahasan tentang sikap dan bertujuan untuk mempengaruhi perilaku siswa. Agar pendidikan damai dapat berhasil baik melalui pendidikan formal maupun informal maka perlu diciptakan suasana pembelajaran yang terbuka, suasana dimana setiap siswa merasa diajak dan dilibatkan untuk membahas isu-isu penting bagi mereka, dan melakukan refleksi terhadap perilaku dan sikap mereka sendiri. Interaksi harus terbangun dengan pendekatan teacher to student, student to teacher, dan student to student. Jadi bukan teacher to student atau teacher-led saja. Ini sangat penting karena dengan interaksi yang terbangun 3 (tiga) arah arah tersebut akan terjalin komunikasi dan pengertian antara satu sama lain. Mereka dapat belajar mendengarkan pendapat yang lain, bekerja sama, dan bertukar pikiran dalam suasana yang demokratis dan membangun. Hal ini juga dapat menimbulkan rasa solidaritas yang tinggi dan saling memahami antara satu dengan yang lain.
Pendidikan damai, tidak hanya terbatas pada pendidikan formal dan nonformal saja, tetapi juga dapat dilakukan dengan beragam cara. Pendidikan damai dapat juga dikembangkan melalui lokakarya, pelatihan, kampanye peningkatan kesadaran. Sebagai individu kita bisa berpartisipasi terhadap pengembangan pendidikan damai dengan cara membuat dan menerbitkan buku cerita untuk anak-anak, membuat poster, membagikan lancana perdamaian dan membuat T-shirt dengan pesan-pesan perdamaian. Salah satu yang paling menarik adalah dengan melakukan riset tentang bahasa daerah dan mencari pepatah-pepatah lokal, puisi kuno serta anekdot yang dapat menumbuhkan perdamaian. Dengan demikian dapat memicu kesadaran masyarakat tentang kemampuan bahasa dalam membentuk sikap dan perilaku, bahkan dapat memberi usulan tentang penggunaan bahasa yang lebih peka terhadap perdamaian.
Pendidikan damai bukanlah tawaran solusi konflik lokal yang terjadi di bumi tadulako atau daerah-daerah konflik lainnya, melainkan sebuah usaha mengingatkan kita semua bahwa saya, saudara, dan kita semua dapat berkontribusi terhadap tercapainya perdamaian. Ada asa dibalik semua usaha yang kita lakukan. Kalau konflik itu berasal dari benak dan pemikiran orang dewasa, maka dengan menanamkan nilai damai kedalam pikiran anak-anak, kita berharap dapat ‘menabung’ damai di masa depan.